Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia :Pengertian,Anfis dan Etiologi

BAB II
TINJAUAN TEORI
Makalah Asuhan Keperawatan Pada Benigna Prostat Hiperplasia Terbaru

2.1  PENGERTIAN
BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn,2000:671)
Hiperplasia prostat benigna adalah perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. ( Brunner & Suddarth, 2000 )
Jadi dapat disimpulkan bahwa Hiperplasia Prostat Benigna adalah suatu keadaan dimana prostat megalami pembesaran memanjang ke arah depan kedalam kadung kemih secara umum terjadi pada pria dewasa yang dapat menyumbat aliran urine sehingga mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter.


2.2  ANATOMI FISIOLOGI

Kelenjar prostat adalah suatu kelenjar fibromuscular yang melingkar bladder neck dan bagian prosimal uretra, terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi uretra posterior, di sebelah proksimal berhubungan dengan buli-buli dan bagian distal kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering diseut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa berukuran  kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Kelenjar prostat memiliki ukuran dengan panjang sekitar 4-6 cm, lebar 3-4 cm dan tebalnya kurang lebih 2-3 cm serta berat sekitar 20 gram.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus :

1.      1 buah lobus medius
2.      1 buah lobus anterior
3.      1 buah lobus posterior, dan
4.      2 buah lobus lateral
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil karena lobus ini tampak homoggen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potoongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari :
1.      Jaringan kelenjar 50%-70%. Jaringan kelenjar ini terbagi atas 3 kelompok bagian :
a.       Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
b.      Bagian tengah disebut kelenjar submukosal, bagian ini disebut juga sebagai adenomatus zone.
c.       Disekitar uretra desebut periuretral gland
2.      Jaringan stoma (penyangga)
3.      Kapsul / muscular 30-50%
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi
Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsistensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

2.3  ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat eratkaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1.      Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2.      Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhanstroma kelenjar prostat.
3.      Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4.      Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
1.      Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
2.      Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
3.      Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen.

2.4  KLASIFIKASI
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium
·         Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
·         Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
·         Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
·         Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen)

Menurut Brunner and Suddarth
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harusmengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a.       Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
ü  Grade 0: Penonjolan prosrat 0-1 cm ke dalam rectum
ü  Grade 1: Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
ü  Grade 2: Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
ü  Grade 3: Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
ü  Grade 4: Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.

b.      Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulukemudian dipasang kateter.
ü  Normal: Tidak ada sisa
ü  Grade I: sisa 0-50 cc
ü  Grade II: sisa 50-150 cc
ü  Grade III: sisa > 150 cc
ü  Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing

2.5  MANIFESTASI
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan :
a.       pancaran miksi melemah
b.      rasa tidak puas sehabis miksi (berkemih)
c.       kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy)
d.      harus mengejan (straining) saat buang air kecil
e.       kencing terputus-putus (intermittency)
f.       waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostatakan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuhatau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain:
a.       sering miksi
b.      terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia)
c.       perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi)
d.      dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)

2.6  PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal (1976) kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor.
Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk  batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
Keganasan protat biasanya berupa adenokarnsinoma yang berasal dari kelenjar prostat yang menjadi hipotrofi pada usia decade ke lima samapi ke tujuh. Agaknya proses menjadi ganas sudah mulai pada jaringan prostat yang masih muda. Karisinomas prostat paling sering (sekitar 75%) terjadi pada zona perifer, 15 – 20% pada zona sentral atau zona transisi. Biasanya karsinoma prostat berupa lesi multisentrik. Derajat keganasan didasarkan pada defeerensiasi kelenjar, atipi sel dan kelainan inti sel. Derajat G1  yaitu berdeferensiasi baik, derajat GII yang berdeferensiasi sedang dan derajat GIII yang berdeferensiasi buruk. Pembagian derajat keganasan ini merupakan indicator pertumbuhan dan progresif tumor.Karsinoma menyebar ke kelenjar limfa di panggul kemudian ke kelenjar limfa di retroperitoneal atas, penyebaran hematogen terjadi melelui v.vertebralis ke tulang panggul, femur proximal, ruas tualng lumbal dan tualng iga, artinya tulang yang berdekatan dengan prostat.

2.7  TEST DIAGNOSTIK
Berdasarkan Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), terdapat beberapa cara untuk menegakkan diagnostic BPH, antara lain:
1.      Pemeriksaan Fisik
Digital rectal examination atau colok dubur merupaka salah satu pemeriksaan fisik yang penting pada klien BPH, Pemeriksaan colok dubur digunakan untuk memperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.
2.      Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menunjukan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi seperti infeksi saluran kemih, batu buli-buli yang menimbulkan keluhan miksi akan menunjukan adanya kelainan pada pemeriksaan urinalisis. Oleh karena itu, jika dicurigai adanya ISK perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
3.      Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Pemeriksaan faal ginjal dilakukan untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
4.      Pemeriksaan PSA (Prostate Spesifik Antigen)
Pertumbuhan vo;ume kelenjar prostat dapat diprediksi berdasarkan kadar PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsy prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat dan usia yang semakin tua. Serum PSA meningkat pada saat retensi akut urine terjadi dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah :
·         40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml
·         50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml
·         60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
·         70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml
5.      Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries)
Catatan Harian miksi dipakai untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang baik. Pencatatan miksi berguna pada klien yang mengeluh nolturia sebagai keluhan utama yang menonjol.
6.      Uroflowmetri
Uroflowmetri merupakan pencatatan pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya gejala obtruksi saluran kemih bagian bawah yangtidak invasive.
7.      Pemeriksaan Residual Urine
Residual urine merupakan sisa urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine pada orang normal adalah 0,09 – 2,24 ml dengan rata-rata 0,53 ml. sebanyak 78% pria normal memiliki residual urine kurang dari 5 ml dan semua pria normal mempunyai residual urine tidak lebig dari 12 ml.
8.      Pencitraan Traktur Urinarius
Pencitraan traktur urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan traktur urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Pemeriksaan USG Prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat.
9.      Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli. Uretrosistoskopi dilakukan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan tindakan yang akan diambil yakni TUIP, TURP atau prostattektomi terbuka.
10.  Pemeriksaan Urodinamika
Berbeda dengan pemeriksaan uroflowmetri yang hanya dapat menilai pancaran urine, pemeriksaan urodinamika dapat membedakan pancaran urine yang lemah disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk klien yang akan menjalani prosedur pembedahan.

2.8  PENATALAKSANAAN
1.      Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a.       Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b.      Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

2.      Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a.       Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra.
b.      Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik).
c.       Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1)      Penghambat adrenergik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenikkarena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2)      Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3)      Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Efeknya diharapakan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.

3.      Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a.       Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah:
1)      Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2)      Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3)      Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b.      Pembedahan endurologi, pembedahan endurologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1)      Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak padakandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2)      Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
3)      Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe
Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt
.
a.       Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
b.      Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil,kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c.       Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
d.      Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.












2.9  KOMPLIKASI
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1)      Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2)      Infeksi saluran kemih
3)      Involusi kontraksi kandung kemih
4)      Refluk kandung kemih
5)      Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6)      Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7)      Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8)      Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus mengedan.












BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

3.1 Pengkajian Keperawatan
Mintalah klien untuk mendeskripsikan semua manifestasi perkemihan, yang berfokus pada gejala saluran kemih bawah (LUTS) termasuk LUTS penyimpanan, seperti frekuensi berkemih pada siang dan malam hari, urgensi dan inkontinensia urine, LUTS perkemihan, seperti penurunan kekuatan intermitten atau keragu-raguan dan LUTS pasca berkemih, seperti urine menetes setelah berkemih. Tanyakan mengenai adanya hematuria (darah dalam urine).  
1.      Kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan, frekuensi urinaria setiap hari, berkemih pada malam hari, sering berkemih, perasaan tidak dapat mengosongkan vasika urinaria, dan menurunnya pancarann urine.
2.      Gunakan indeks gejala untuk menentukan gejala berat dan dampak terhadap gaya hidup pasien.
3.      Lakukan pemeriksaan rektal (palpasi ukuran, bentuk, dan konsistensi) dan pemeriksaan abdomen unutk mendeteksi distensi kandung kemih serta derajat pembesaran prostat.
4.      Lakukan pengukuran erodinamik yang sederhana, uroflowmetry, dan oengukuran residual prostat, jika diindikasikan.
3.2 Diagnosa Keperawatan Pra Operasi
1.      Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi uretra.
2.      Kesiapan Untuk peningkatan perawatan mandiri yang berhubungan dengan minat untuk mempelajari lebih banyak mengenai BPH
3.3 Diagnosa Keperawatan Pasca Operasi
1.      Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan prosedur pembedahan dan pemasangan kateter urine
2.      Risiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, imobilitas, dan pemasangan kateter urine
3.      Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan
4.      Cemas berhubungan dengan inkontinensia urine, disfungsi seksual

3.3 Intervensi Keperawatan pra Operasi
1.    Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi uretra
Tujuan : Fasilitasi eliminasi urine
Kriteria Hasil : gangguan eliminasi urine dapat teratasi
·         DS: melaporkan berkemih tidak lancar serta urine menetes dan sering
·         DO: inkontinensia, berkemih mendadak, nokturia, dan retensi urine.

Intervensi
Rasional
1.      Jaga privasi dan waktu pasien untuk mengosongkan kandung kemih.
1.      Menjaga privasi klien
2.      Bantu kateter pasien dengan menggunakan guidwire atau melalui cystotomy suprapubik sesuai indikasi:
a.       Monitor asupan dan keluaran
b.      Atur kepatenan kateter

2.      Memonitoring pola berkemih klien,mengatur keseimbangan elektrolit klien
3.      Berikan obat sesuai pesanan dan monitor serta ajarkan pasien tentang efek samping:
a.       Adrenergik blocker, hipotensi, hipotensi orthostastuc, dan syncope (khususnya sesudah pemberian dosis pertama); impoten; gangguan penglihatan; serta hipertensi rebound.
b.      Finasteride (proscara), disfungsi hepatic, impoten, dan interferens dengan pemeriksaan PSA.
c.       Kaji dan ajarkan pasien mengenai hematuria dan tanda infeksi.
3.      Proses terapi untuk proses pemulihan dan meningkatkan pengetahuan klien tentang efek samping dari obat dan klien mengetahui tanda terjadinya hematuria




2.       Kesiapan untuk peningkatan perawatan mandiri yang berhubungan dengan minat untuk mempelajari banyak mengenai BPH
Tujuan : klien dapat memahami mengenai BPH
Kriteria Hasil : meningkatkan pengetahuan klien terhadap BPH
Intervensi
Rasional
1.      Berikan pengajaran tentang BPH melalui penyuluhan
1.      meningkatkan pegetahuan klien terhadap BPH
2.      Berikan pengetahuan tentang pentingnya asupan cairan dan hindari meminum alcohol dan kopi
2.      karena dapat  memperparah gejala saluran kemih bawah .
3.      Jelaskan mengenai medikasi dan biasanya klien menanyakan poses medikasi yang akan dijalani
3.      Meningkatka pengetahuan klien terhadap proses medikasi yang akan di jalani
Evaluasi
1.      Mengeluarkan kencing adekuat tanpa urine residu.
2.      Menjelaskan prosedur pembedahan dan komplikasi.
3.      Tidak terjadi infeksi atau perdarahan abnormal.
A.    Pendidikan Pasien
1.      Jelaskan kepada pasien mengenai tidak adanya pengobatan gejala komplikasi BPH, retensi urine, cystitis, dan peningkatan gejala iritasi saat berkemih. Anjurkan agar pasien melaporkan masalah ini.
2.      Ajarkan pasien melakukan latihan kegel (kegle exercise) sesudah pembedahan unutk membantu mengontrol saat berkemih:
·         Kontrasksi otot perineal jika berhenti berkemih atau plastis, tahan selama 10 menit-15 menit, kemudian relaksasi
·         Ulangi selama 15 menit (satu kali), lakukan 15 kali setiap hari
3.      Nasihatkan pasien bahwa gejala iritasi saat berkemih tidak segera hilang sesudah penyembuhan obstruksi, gejala akan hilang dengan sendiri.
4.      Beritahukan kepada pasien untuk menghindari berhubungan intim, mengatur BAB, tidak mengangkat benda berat, dan tidak duduk dlaam jangka waktu yang lama selama 6-8 minggu sesudah operasi sebab dapat menyebabkan striktur uretra dan pertumbuhan prostat kembali sesudah TURP.

B.     Bedah Prostatisis
Bedah prostat biasa dilakukan pada BPH atau kanker prostat. Penatalaksanaan bedah tergantung pada ukuran kelenjar, beratnya sumbatan, penyakit yan mendasari, dan penyakit prostat.

C.    Prosedur Pembedahan
1.      Reseksi transuretra prostat (TUR atau TURP) lebih umumdilakukan tanpa insisi melalui penggunaan alat endoskopi.
Open prostectomy:
·         Suprapubik, insisi pada daerah suprapubik dan melalui dinding kandung kemih; sering dilakukan pada BPH.
·         Perineal, inisisi antara skrotum dan daerah rektal; dilakukan bagi pasien dengan risiko pembedahan yang buruk tetapi risiko tinggi insidensi inkontinensia urine dan impotensi
·         Retropubik, insisi pada daerah simpisis pubis risiko fungsi seksual 50% pasien.
D.    Persiapan  Praoperasi
1.      Jelaskan prosedur dan perawatan pascaoperasi, meliputi drainase kateter, irigasi, dan pemamtauan hematuria.
2.      Diskusikan komplikasi pembedahan dan bagaimana koping pasien;
·         Inkontinensia urine selama lebih dari 1 tahun sesudah pembedahan; latihan kegel akan membantu mengontrol urinaria.
·         Ejakulasi retrograt, cairan akan masuk ke dalam kandung kemih dan keluar melalui urine daripada melalui uretra selama hubungan intim,; kadang terjadi impoten sebagai komplikasi open prostectomy.
3.      Penatalaksanna fecal sesuai resep, atau instruksikan pasien mengatur buan air besar (BAB) dirumah dan puasa sesudah jam 12 malam.
4.      Pentalaksanaan kardiak secara optimum, respiratori, dan sistem sirkulasi untuk menurunkan risiko komplikasi.
5.      Pemberian propilaktik antibiotik sesuai dengan resep.


E.     Asuhan Keperawatan Pascaoperasi
1.      Penatalaksanaan drainase urinasi dan monitor perdarahan.
2.      Lakukan perawatan luka dan pencegahan infeksi
3.      Monitor dan cegah komplikasi:
·         Infeksi luka operasi
·         Sumbatan urinaria dna infeksi
·         Perdarahan
·         Tromboplebitis dan emboli pulmonal
·         Incontinensia urinaria dan disfungsi seksual

F.     Intervensi Keperwatan Pasca Operasi
1.      Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan prosedur pembedahan dan pemasangan kateter urine ditandai dengan:
·         DS: status pembedahan
·         DO: terdapat luka operasi dan kateter
Tujuan : Memfasilitas drainase urine
Kriteria Hasil : gangguan eliminasi dapat teratasi
Intervensi
Rasional
1.      Atur kepatenan lokasi kateter uretra sesudah pembedahan dengan cara:
a.       Monitor penutup aliran irigasi three-way dan sistem drainase jika digunakan.
b.      Lakukan irigasi manual 50 ml cairan irigasi dengan menggunakan teknik aseptik.
c.       Cegah overdistensi kandung kemih, karena dapat menyebabkan perdarahan
d.      Beriakn antikolinergik sesuai anjuran untuk mengurangi spasme kandung kemih.
1.      Dapat memonitoring pengeluaran urine dan mengatur kepatenan lokasi kateter uretra dan memberikan drainase.
2.      Kaji tingkat perdarahan dan kandungan drainase harus berwarna merah muda terang selama 24 jam dengan cara:
a.       Laporkna adanya perdahan berwarna terang dengan meningkatkan visikositas (arteri), mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan.
b.      Laporkan setiap peningkatan perdarahan yang gelap (vena), mungkin dibutuhkan traksi kateter sehingga letak balon menekan fosa prastatika
c.       Siapkan transfusi untuk mengantisipasi terjadi perdarahan


2.      Memonitoring perdarahan dalam system perkemihan secara intensif selama 24 jam.
3.      Berikan cairan infus sesuai anjuran dan beriakn cairan oal jika dapat ditoleransi untuk hidrasi dan pengeluaran urine.

3.      Mencegah terjadinya kekurangan darah pada tubuh klien.

2.      Risiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, imobilitas, dan pemasangan kateter urine ditandai dengan:
·         DS : status pembedahan
·         DO : imobilitas, tetpasang kateter, dan terdapat luka operasi
Tujuan : Pencegahan infeksi
Kriteria Hasil : menjaga agar tidak terpapar infeksi
Intervensi
Rasional
1.      Atur bedrest selama 24 jam dengan monitoring tanda vital, asupan dan keluarkan secara teratur, dan observasi balutan insisi jika ada.
1.      Memonitoring TTV dan mencegah adanya kontaminasi pada sekitar balutan
2.      Sesudah 24 jam, lakukan ambulansi dini
2.      untuk mencegah trombosis, emboli pulmonal, dan pneumonia hipostatik.
3.      Observasi warna urine (gelap), bau, dan evaluasi adanya infeksi.
3.      Memonitoring warna urine dan melihat keabnormalan pada urine
4.      Berikan antibiotik sesuai denga resep
4.      Mencegah penyebaran antibiotik
5.      Laporkan setiap nyeri yang hebat, pembengkakan, dan ketengagan yang menandakan adanya epididimis dari penyebaran infeksi
5.      Meningkatkan kooperatif antara perawat dan klien
6.      Kaji dengan melalukan perawatan perineal jika insisi perineal dilakukan untuk mencegah kontaminasi feses.
6.      Mencegah kontaminasi bakteri dari feses

3.      Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan ditandai dengan:
·         DS: laporan adanya nyeri pada luka operasi
·         DO: adanya luka operasi serta ekspresi wajah meringis dan menahan sakit.
Tujuan: Hilangkan nyeri
Kriteria Hasil : gangguan nyeri dapat hilang
Intervensi
Rasional
1.      Penatalaksanaan pengobatan nyeri atau monitor PCA sesuai petunjuk
1.      Mengurangi rasa nyeri
2.      Atur posisi untuk kenyamanan dan beritahukan kepada pasien
2.      untuk mencegah ketegangan, yang akan meningkatkan kongesti vena dan dapat menyebabkan perdarahan
3.      Penatalaksanaan BAB yang lunak
3.      untuk mencegah ketidaknyaman dari konstipasi
4.      Pastikan kateter berada pada pasien paha dan tuba agar tidak menyebabkan kateter tertarik,
4.      karena dapat menyebabkan nyeri dan potensi perdarahan.




4.      Cemas berhubungan dengan inkontinensia urine, disfungsi seksual ditandai dengan :
·         DS: pasien banyak bertanya mengenai kondisi kesehatannya
·         DO: inkontinensia urine dan gangguan ererksi
Tujuan: hilangkan cemas
Kriteria hasil : gangguan rasa cemas dapat teratasi
Intervensi
Rasional
1.      Jelaskan keadaan yang sebenarnya tentang ketidaknyaman pascabedah dengan cara:
a.       Beritahukan pasien, tidak mengangkat barang berat, tidak duduk terlalu lama selama 6-8 minggu sesudah pembedahan, sampai terjadi penyembuhan fosa prostatik.
b.      Nasihatkan kontrol sesudah pengobatan,sebab striktur uretra dapat terjadi dan pertumbuhan kembali prostat sesudah TURP.
1.      Meningkatkan pengetahuan klien terhadap larangan setelah pasca operasi dan perluna control rutin
2.      Pastikan pasien bahwa inkontinensia urinaria, frekuensi berkemih, mendadak berkemih, dan disuria dapat terjadi sesudah kateter dilepas dengan cara:
a.       Jika pasien kembali ke rumah dengan kateter, kateter akan dilepas sekitar tiga minggu ketika sistogram menunjukkan kesembuhan.
b.      Diskusikan pemakaian produk absorben untuk menampung urine.
c.       Nasihatkan bahwa inkontinensia dapat terjadi ketika batuk, tertawa, dan tegang
2.      Meningkatkan pengetahuan klien terhadap perawatan kateter dan menunjukan progress yang baik
3.      Ajarkan ukuran untuk mengontrol urinaria:
a.       Anjurkan pasien berimajinasi mengenai adanya telur di dalam rektum, serta lemaskan dan kencangkan otot untuk memecahkannya dengan posisi menahan, kemudian relaksasi. Pemakaian otot abdominal akan meningkatkan inkontinensia.
b.      Beri tahu pasien agar berhenti mengeluarkan kencing sambil menahan selama beberapa detik. Praktikkan 10-20 kali sejam sambil menahan
3.      Meningkatkan latihan bladder training 
4.      Beritahukan risiko penting sesuai anjuran ahli bedah.
4.      Ingatkan pasien bahwa fungsi ereksi mungkin kembali selama enam bulan
5.      Bantu pasien untuk mengungkapkan katakutan dan kecemasan berhubungan dengan potensial kehilangan fungsi seksual dan diskusikan dengan pasangan.
5.      Menurunkan rasa cemas
G.    Evaluasi
1.      Diagnosis 1: Drainase berwarna kuning jernih melalui kateter.
2.      Diagnosis 2: Insisi tanpa drainase; tidak demam
3.      Diagnosis 3: Menunjukkan penyembuhan nyeri yang baik
4.      Diagnosis 4: Menunjukkan harapan yang nyata untuk berkemih dan fungsi seksual

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin,Arif.2011,Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system perkemihan. Jakarta: Salemba medika.
Black. 2014. Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzane C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia.2006. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC.

Brunner, Suddarth. 2001. Kperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. 


Download Contoh Presentasi Pielonefritis dan abses renal dibawah ini !!!

saya terbuka dengan semuanya

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »