BAB
II
TINJAUAN
TEORI
I. Konsep
Teori
A. Pengertian
Pemfigus berasal dari
kata yunani pemphix yang berarti
gelembung atau melepuh. Pemfigus menggambarkan sekelompok penyakit bulosa
kronis (Wichman dalam Muttaqin& Sari, 2011). Pemfigus adalah suatu gangguan
berlepuh autoimun yang jaringan terjadi akibat hilangnya integritas jembatan
antarsel normal di epidermis dan epitel mukosa. Sebagian besar pasien yang
terkena pemfigus berusia pertengahan atau lebih, dan perempuan dan
sertalaki-laki sama seringnya terkena (Robbins, 2007).
Pemfugis vulgaris
merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai oleh timbulnya bula (lepuh)
dengan berbagai ukuran pada kulit yang tampak normal dan membran mukosa
(Misalnya: mulut, vagina) (Muttaqin& Sari, 2011).Pemfigus vulgaris merupakan
tipe tersering mengenai mukosa dan kulit, terutama wajah, kulit kepala, ketiak,
lipat paha, badan, dan daerah yang mengalami tekanan. Lesi primer berupa
vesikel dan bula yang sangat superfisisal dan mudah pecah, meninggalkan erosi
dangkal yang ditutupi oleh seum kering dan krusta (Robbins, 2007).
Jadi pemfigus vulgaris adalah penyakit
autoimun berupa bula bersifat kronik yang dapat mengenai membran mukosa dan
kulit.
B. Anatomi
dan Fisiologi kulit
Kulit terdiri dari tiga
lapisan, yang masing-masing memiliki berbagai jenis sel dan memiliki fungsi
yang bermacam-macam. Ketiga lapisan kulit tersebut adalah epidermis, dermis,
subkutan (Muttaqin & Sari, 2011).
Gambar.
Wordpress.com
1. Epidermis
Epidermis merupakan struktur lapisan
kulit terluar. Sel-sel epidermis terus-menerus mengalami mitosis, dan berganti
dengan yang baru sekitar 30 hari. Epidermis mengandung reseptor-reseptor
sensorik untuk sentuhan getaran, dan nyeri.
2. Dermis
Dermis atau kutan (cutaneus) merupakan lapisan kulit dibawah epidermis yang membentuk
bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur kepada kulit.
Lapisan papila dermis berada langsung dibawa epidermis dan tersusun terutama
dari sel-sel fibroblas yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu
suatu komponen dari jaringan ikat. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah dan
limfe, serabut saraf, kelenjar keringat dan sebasea serta akar rambut.
3. Subkutis
Lapisan Subkutis kulit terletak dibawah
dermis. Lapisan ini terdiri atas lemak dan jaringan ikat dimana berfungsi untuk
memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan
tulang serta sebagai peredam kejut dan insulator panas.
C. Etiologi
Penyebab pasti
pemphigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya pembentukkan antibodi
IgG, beberapa faktor potensial yang relevan yaitu (Lubis, 2008):
1. Faktor
genetik: molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II berhubungan
degnan human leukocyte antigen DR4 dan human leukocyt antigen DRw6.
2. Pemphigus
sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang lain, terutama pada
myasthenia gravis dan thymoma.
3. D-Penicillamine
dan captopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya pemphigus (jarang).
D.
Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala
Gambar
diambil dari
http://diseasespictures.com/wp-content/uploads/2013/05/PemphigusVulgaris-8.jpg&http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/Pemphigus-2.jpg
Gejala klinis pemphigus
vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa malaise, anoreksia,
subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal
(pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula berdinding
kendur yang timbul di atas kulit normal atau pada selaput lendir. Bila lesi
mengenai paru akan timbul kesukaran menelan karena sakitnya. Selaput lendir
lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung, vulva, penis, dan mukosa
hidung-anus (Saffira, 2012).
E.
Patofisiologi
Pemvigus merupakan
penyakit autoimun yang melibatkan IgG, suatu imunologlobulin. Diperkirakan
bahwa antibody pemfigus ditujukan langsung kepada antigen permukaan-sel yang
spesifik dalam sel-sel epidermis. Bula terbentuk akibat reaksi
antigen-antibodi. Kadar antibodi dalam serum merupakan pentunjuk untuk
memprediksikan intensitas penyakit. Faktor-faktor genetik dapat memainkan
peranan dalam perkembangan penyakit. Kelainan ini biasanya terjadi pada
laki-laki dan wanita usia pertengahan, serta akhir usia dewasa. Komplikasi
paling sering pada pemfigus vulgaris terjadi ketika proses penyakti tersebut
menyebar luas. Sebelum ditemukannya kortikosteroid dan terapi imunosupresif,
pasien sangat rentan terhadap infeksi bakteri sekunder. Bakteri kulit relatif
mudah mencapai bula karena bula mengalami pembesaran cairan, pecah,
meninggalkan daerah-daerah terkelupas yang terbuka terhadap lingkungan.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit terjadi akibat kehilangan cairan,
serta protein ketika bula mengalami ruptur. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalu
proses penyakitnya mencakup daerah permukaan kulit tubuh dan membran mukosa
yang luas. Adaya kerusakan jaringan kulit pada pemvigus vulgaris memberikan
menifestasi pada berbagai masalah keperawatan (Muttaqin, 2011).
Respon autoimun yang melibatkan IgG
|
Reaksi antigen antibodi
|
Pemfigus vulgaris
|
Peningkatan produksi bula pada kulit
|
Ruptur bula
|
Terbentuknya jaringan nekrotik, krusta, dan erosi pada
kulit
|
Terbentuknya lesi terbuka pada kulit
|
Erosi jaringan lunak dan keterlibatan saraf perifer
|
Respon psikologis
|
Kehilangan cairan dan elektrolit melalui ruptur bula
|
Resiko tinggi ketidakseeimbangan cairan dan elektrolit
|
Reiko tinggi infeksi
|
Defisit perawatan diri
|
Kelemahan fisik secara umum
|
Kecemasan
|
Nyeri
|
Kerusakan
integritas jaringan
|
F.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemvigus dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan diagnostik yaitu:
1. Gambaran
klinis yang khas dan tanda dari niklsky positif.
2. Test
tzanck positif dengan membuat apusan dari dasar bula dioleskan dengan gemsa
akan terlihat sel tzank atau sel akantolitik yang berasal dari sel-sel lapisan
spinosum berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma
jernih (halo).
3. Pemeriksaan
histopatologik: terlihat gambaran yang khas, yakni bula yang terletak supra
basal dan adanya akantolisis.
4. Pemerikasaan
imunofluoresensi. Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibody
intraseluler tipe IgG dan C3. Pada tes imunofluresensi secara langsung
didapatkan antibody pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya dari pada
tes kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya pada
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan
pengobatan kortikosteroid (Saffira, 2012).
G. Penatalaksanaan
Penyakit pemfigus yang
berat ditangani seperti menangani penderita yang mengalami kebakaran berat.
Penderita harus dirawat di rumah sakit pada unit kebakaran atau unit perawatan
intensif untuk mencagah komplikasi.
Pemberiran cairan
intravenus, elektrolit dan protein mungkin diperlukan, juga misalnya jika
terjadi ulkus mulut yang memerlukan pemberian makanan melalui intravenus.
Antibiotik dan anti jamur diperlukan untuk mencegah infeksi sekunder. Anestesi
lokal dengan mouth lozenges diberikan
untuk meredakan rasa sakit akibat ulkus di mulut.
Pengobatan sistemik
harus segera diberikan, dengan senantiasa memperlihatkan efek samping yang
mungkin terjadi akibat pemakaian jangka panjang kortikosteroid atau obat-obatan
yang menghambat sistem imun (misalnya azathioprine,
dan methotrexate). Pemberian plasmapheresis, yaitu plsama yang
diambil antibodinya, dapat diberikan sebagai terapi sistemik untuk mengurangi
jumlah antibodi yang beredar di dalam darah.
Pengobatan lokal
terhadap ulkus atau kulit yang rusak dilakukan dengan memberikan lotion,
kompres basah, atau tindakan sejeni lainnya.
Tanpa pengobatan
phemigus vulgaris dapat menyebabkan kematian penderita dalam jangka waktu 2
bulan sampai 5 tahun (Soedarto, 2012).
Menurut Rezeki dan
Setyawati penatalaksanaan pemfigus vulgaris yaitu dengan:
1. Pembersihan
gigi dan mulut semaksimal mungkin. Perawatan mulut dengan obat anti jamur seperti
nistatin suspensi bila perlu. Olesi bibir dengan prednisolon.
2. Bila
ada bula dikompres menggunakan larutan NaCl 0,9% 2 kali/hari.
3. Bila
ada lesi erosi kulit diberikan silver sulfadiazine salep.
4. Pemberian
antibiotik golongan kilindamisin selama 3 hari, tablet kalsium karbonat
kalsitriol, ranitidin dan diit cair.
5. Pemberian
obat golongan kortikosteroid seperti metilprednisolon melalui intravena
2×31,25mg perhari selama 6 hari dan prednison 60mg/hari.
II. Konsep
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1.
Riwayat kesehatan
2.
Keluhan utama:
a.
Ditemukannya lesi oral,
terasa nyeri dan mudah berdarah, dan sembuhnya lambat.
b.
Terdapat bula yang membesar,
pecah dan meninggalkan daerah-daerah erosi yang lebar, nyeri, pembentukan
krusta dan perembesan cairan.
c.
Bau yang khas memancar dari
bula dan serun yang merembes keluar.
d.
Bila di tekan akan terjadi
pementukan lepuh atau pengelepasan kulit yang normal.
e.
Kulit yang erosi akan sembuh
dengan lambat sehingga daerah tubuh yang terkena sangat luas.
f.
Pasien pemfigus vulgaris
sering berlanjut pada kondisi sepsis.
3.
Pemeriksaan fisik
Penyakit
di pantau secara klinis dengan memeriksa kulit untuk mendeteksi timbulnya bula
yang baru yaitu pada daerah-daerah berikut ini:
a.
Kulit kepala
b.
Dada
c.
Daerah-daerah kulit
sekitarnya diperiksa untuk menemukan bula.
d.
Daerah-daerah tempat
kesembuhan apakah sudah terjadi tanda-tanda hiperpigmentasi.
e.
Mengkaji tanda-tanda dan
gejala infeksi
B. Diagnosa
1.
Resiko tinggi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan hilangnya cairan
pada jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebihan dengan
peningkatan terbentuknya bula dan rupture bula.
2.
Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
3.
Nyeri berhubungan dengan
kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
4.
Kerusakan integritas kulit
berhubunngan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
5.
Defisit perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum efek
sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit.
6.
Kecemasan berhubungan dengan
kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan ikat.
C. Intervensi
1.
Resiko tinggi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan hilangnya cairan
pada jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebihan dengan peningkatan
terbentuknya bula dan rupture bula.
Tujuan:
dalam waktu 1x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria
evaluasi:
a.
Tidak terdapat tanda-tanda
syok: pasien tidak mengeluh pusing, tanda-tanda vital dalam batas normal,
kesadaran optimal, urine lebih dari 600 ml/hari.
b.
Memberan mukosa lembab,
turgor kulit normal, CRT lebih dari 3 detik.
c.
Laboratorium: nilai
elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/keratin
menurun.
Intervensi keperawatan:
a.
Identifikasi factor penyebab,
awitan(onset), spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit lain.
Rasional:
parameter dalam menentukan intervensi kedaruratan. Adanya usia anak atau lanjut
usia memberikan tingkat keparahan dari kondisi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
b.
Beri cairan oral
Rasional:
WHO memberikan rekomendasi tentang cairan oral berisikan 90 mEq/L Na+,
20 mEq/L K+, 80 mEq/L Cl-, 20 g/L glukosa; osmolaritas
310; CHO: Na = 1,2:1; diberikan 250 mL setiap 15 menit sampai keseimbangan
cairan terpenuhi dengan tanda klinik yang optimal atau pemberian 1 ½ liter air
pada setiap 1 liter feses ( Diskin, 2009).
c.
Lakukan pemasangan intravenous fluid drops ( IVFD)
Rasional:
apabila kondisi dan muntah berlanjut, maka lakukan pemasangan IVFD, pemberian
1-2 L cairan RL secara tetesan cepat sebagai kompensasi awal dehidrasi cairan
diberikan untuk mencegah syok hipovolemik.
d.
Dokumentasi dengan akurat
tentang input dan output cairan
Rasional: sebagai evaluasi penting dari intervensi
hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.
e.
Bantu pasien apabila muntah
Rasional:
aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada usia lanut dengan perubahan
kesadaran. Perawat mendekatkan tempat
muntah dan memberikan masase ringan pada pundak untuk membantu menurunkan
respon nyeri dari muntah.
f.
Evaluasi kadar elektolit
serum
Rasional:
untuk mendeteksi adanya kondisi hopinatremi dan hipokalemi skunder dari
hilangnya elektrolit dari plasma.
2.
Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
Tujuan :
Dalam waktu 7 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada integritas
jaringan lunak.
Kriteria
evaluasi:
a.
Lesi akan menutup pada hari
ketujuh tanapa adanya tanda-tanda infeksi dan peradangan pada area lesi.
b.
Leukosit dalam batas normal, tanda-tanda
viatal dalam batsa normal.
Intervensi
keperawatan:
a.
Kaji kondisi lesi, banyak dan
besarnya bula, serta adakah adanya order khusus dari tim dokter dalam melakukan
perawatan luka.
Rasional
: Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang diharpkan.
b.
Buat kondisi balutan dalam
keadaan bersih dan kering.
Rasional
: Kondisi bersih dan kering akan menghindarkan kontaminasi komensal, serta akan
menyebabkan penyembuhan luka.
c.
Lakukan perawatan luka steril
setiap hari
Rasional
: perawatan luka sebaiknya dilakukan setiap hari untuk membersihkan debris dan
emnurunkan kotak kuman masukke dalam lesi. Intervensi dilakukan dalam kondisi
steril sehingga mencegah kontaminasi kuman ke lesi pemfigus.
d.
Bersihkan luka dan drainase
dengan cairan Nacl 0,9% atau antiseptic jenis iodine provadum dengan cara swabbing
dari arah dalam ke luar.
Rasional
: pembersihan luka (sisa fagositosis, jaringan mati) dan kuman sekitar luka
denganmeongoptimalkan kelebihan dari iodine providum sebagai antiseptic dan
denganarah dari dalam keluar dapat mencegah kontaminasi kuman ke jaringan luka.
e.
Tutup luka dengan kasa steril
dan jangan menggunakan dengan plester adhesive.
f.
Rasional : penutupan luka
secara menyeluruh dapat menghindari kontaminasi dari benda atau udara yang
bersentuhan dengan lesi pemfigus.
g.
kolaborasi penggunaan
antinbiotik.
Rasional
: Antibiontik injeksi diberikan untuk mencegah aktivasi kuman yang bisa masuk.
Peran perawat mengkaji adanya reaksi dan riwayat alergi antibiotic, serta
memberikan antibiotic sesuai pesan dokter.
3.
Nyeri berhubungan dengan
kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
Tujuan :
dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi.
Kriteria
hasil :
a.
Secara subjektif melaporkan
nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, Sklala nyeri 0-1 (0-4).
b.
Dapat mengindentifikasi
aktivitas yang meningkatkan atau mennurukna nyeri.
c.
Pasien tidak gelisah.
Intervensi keperawatan:
a.
Kaji dengan pendekatan PQRST.
Rasional:
menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan
dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi menejemen nyeri keprawatan.
b.
Jelaskan dan bantu pasien
dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvansif.
Rasional:
pendekatan dengan menggunakan relaksasi den nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
c.
Lakukan menejemen nyeri
keperawatan
1)
Atur posisi fisiologis
Rasional:
posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang
mengalami peradangan subkutan. Pengaturan posisi idealnya adalah pada arah yang
berlawanan dengan letak lesi pemfigus. Bagian tubuh yang mengalami inflamasi
lokal dilakukan imobilisai untuk menurunkan respon peradangan dan meningkatkan
kesembuhan.
2)
Istirahatkan klien
Rasional:
istirahat diperlukan selama fase akut.
Kondisi ini akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami
peradangan.
3)
Menajemen lingkungan:
lingkungan tenang dan batsi pengunjung.
Rasional:
lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri external dan pembatasan
pengunjung akan membantun meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan
kurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan.
4)
Ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
Rasional:
meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunderdari
peradangan.
5)
Ajarkan teknik distraksi pada
saat nyeri.
Rasional:
distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan
mekanisme peningkatan produksi endorphin dan enkefalin yang dapat memblok
reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan
persepsi nyeri.
d.
Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian analgetik
Rasional:
analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
e.
Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian antibiotic
Rasional:
terapi antibiotic sistemik yang dipilih berdasarkan pemeriksaan snsitivitas
umumnya diperlukan. Preparat oral penisilin dan eritromisin juga efektif untuk
mengatasi selulitis.
4.
Kerusakan integritas kulit
berhubunngan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
Tujuan :
Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria
Evaluasi : pertumbuhan jaringan meningkat, keadaan luka membaik, pengeluaran
pus pada luka tidak ada lagi, luka menutup.
Intervensi
keperawatan:
a.
Kaji kerusakan jaringan lunak
yang terjadi pad klien.
Rasional
: menjadi data dasar untuk memnberikan informasi intervensi perawatan luka,
alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang akan digunakan.
b.
Lakukan perawatan bula
Rasional
: Pasien dengan daerah bula yang luas memiliki bau yang khas yang akan
berkurang setelah infeksi skunder terkendali. Sesudah kulit pasien dimandikan,
kulit tersebut dikeringkan dengan hati-hati dan ditaburi bedak yang tidak
irigatif agar pasien dapat bergerak lebih bebas di atas tembat didurnya. Jumlah
bedak yang cukup banyak mungkin diperlukan untuk menjaga agar kulit pasien
tidak lengket pada sprei. Plester sama sekali tidak boleh digunakan pada kulit
karena dapat menimbulkan lebih banyak bullae. Hipotermia sering terjadi dan
tindakan untuk menjadga agar pasien tetap hangat serta nyaman merupakan
prioritas dalam aktivitas keperawatan.
c.
Lakukan perawatan luka
1)
Lakukan perawatan perawatan
luka dengan teknik steril
Rasional
: perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi kontaminsi kuman
langsung ke area luka.
2)
Kaji keadaan luka dengan
teknik membuka balutan dengan mengurangi stimulus nyeri. Bila melekat kuat,
kasa diguyur dengan NaCl.
Rasional
: menajeman membuka luka dengan mengguyur larutan NaCl ke kasa steril dapat
mengurangi stimulus nyeri.
3)
Lakukan pembilasan luka dari
arah dalam keluar dengan larutan Na
Cl
Cl
Rasional
: teknik membuang jaringan dan kuman di area luka dan diharapkan keluar dari
area luka.
4)
Tutup luka dengan kasa
antimikroba steril dan dikompres dengan NaCl
Rasional
: NaCl merupakan larutan fisiologis yang lebih mudah diabsorpsi oleh jaringan
dibandingkan dengan larutan antiseptic, serta dicampur antibiotic dapat
mempercepat penyembuhan luka.
5)
Lakukan nekrotomi
Rasional:
Jaringan nekrotik pad luka furunkel akan memperlambat proses epitalisasi
jaringan luka sehingga memperlambat perbaikan jaringan.
d.
Tingkatkan asupan nutrisi.
Rasional:
Diet TKTP diperlukan untuk meningkatkan asupan dari kebutuhan pertumbuhan
jaringan.
e.
Evaluasi kerusakan jaringan
dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
Rasional:
apabila amsih belum mencapai dari kreteria evaluasi 15 x 24 jam, maka perlu
dikaji ulang factor-faktor yang dapat menghambat pertumbuhan luka.
5.
Defisit perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum efek
sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit.
Tujuan :
dalam waktu 3 x 24 jam kemampuan perawatan diri klien meningkat.
Kriteria
evaluasi :
a.
Pelaksanaan intervensi
perawatan diri dilakukan setelah fase akut.
b.
Tidak terjasi komplikasi
skunder, seperti kejang dan peningkatan agitasi.
Intervensi keperawatan :
a.
Kaji perubahan pada sistem
saraf pusat.
Rasional:
identifikasi terhadap kondisi penurunan tingkat kesadaran.
b.
Tinggikan sedikit kepala
pasien dengan hati-hati. Cegah gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari
kepala dan leher, hindari fleksi leher.
Rasional:
Untuk mengurangi tekanan intrakranial.
c.
Bantu seluruh aktivitas dan
gerak-gerakan pasien. Beri petunjuk untuk BAB ( jangan edema), Anjurkan pasien
untuk menghembuskan napas dalam bila miring dan bergerak di dalam tempat tidur.
Cegah posisi fleksi pada dan lutut.
Rasional: untuk mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan resiko peningkatan stimulasi nikotinik-muskarinik pada sistem saraf pusat.
Rasional: untuk mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan resiko peningkatan stimulasi nikotinik-muskarinik pada sistem saraf pusat.
d.
Waktu prosedur-prosedur
perawatan disesuaikan dan diatur tepat waktu dengan periodik relaksasi; hindari
rangsangan lingkungan yang tidak perlu.
Rasional:
untuk mencegah eksitasi yang merangsang otak yang sudah iritasi dan dapat
menimbulkan kejang.
e.
Beri penjelasan kepada
keadaan lingkungan pada pasien.
Rasional:
Untuk mengurangi disorientasi dan untuk klarifikasi persepsi sensoris yang
terganggu.
6.
Kecemasan berhubungan dengan
kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan ikat.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan pasien
berkurang.
Kriteria
evaluasi:
a.
Pasien menyatakan kecemasan
berkurang.
b.
Pasien mengenal perasaannya
dan dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya.
c.
Pasien kooperatif terhadap
tindakan, wajah rileks.
Intervensi keperawatan :
a.
Kaji tanda verbal dan
nonverbal kecemasan, dampingi pasien dan lakukan tindakan bila menunjukkan
perilaku merusak.
Rasional:
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi marah, dan gelisah.
b.
Hindari konfrontasi
Rasional:
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan.
c.
Mulai melakukan tindakan
untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan susasana penuh
istirahat.
Rasional: Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
d.
Bina hubungan saling percaya.
Rasional:
Hal utama dalam penatalaksanaan keperawatan yaitu dengan bina hubungan saling
percaya antara perawat dan pasien. Hal ini mencakup cara perawat mendengarkan,
berinteraksi, dan memperlihatkan sikap yang hangat, serta penuh perhatian.
e.
Orientasikan pasien terhadap
prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
Rasional: Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
f.
Beri kesempatan kepada pasien
untuk mengungkapkan ansietasnya.
Rasional:
Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
g.
Berikan privasi untuk pasien
dan orang terdekat
Rasional:
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan
pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.
h.
Kolaborasi: berikan anticemas
sesuai indikasi contohnya diazepam.
Rasional:
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
D. Evaluasi
1.
Tidak terjadi syok
hipovolemik.
2.
Tidak terjadi infeksi.
3.
Terjadi penurunan respon
nyeri.
4.
Peningkatan integritas
jaringan kulit.
5.
Perawatan aktivitas dapat
terlaksana.
6.
Tingkat kecemasan berkurang.
Daftar
Pustaka
Saffira,Elen,
KesehatandanBahayaPhempigusVulgaris, UNAIR, [internet]
2012, di ambil dari <http://seaellen-fst09.web.unair.ac.id/artikel_detail-62737-
Kesehatan-BAHAYAnya%20Phempigus%20Vulgaris.html> , [diakses tanggal 6
oktober 2014].
2012, di ambil dari <http://seaellen-fst09.web.unair.ac.id/artikel_detail-62737-
Kesehatan-BAHAYAnya%20Phempigus%20Vulgaris.html> , [diakses tanggal 6
oktober 2014].
Muttaqin, Arif
& Sari, Kumala, AsuhanKeperawatanGangguanSistem
Integumen, Salemba Medika, Jakarta, 2011.
Integumen, Salemba Medika, Jakarta, 2011.
Robbins, BukuAjarPatologiEdisi7,
EGC, Jakarta, 2007.
Lubis, Ramona
Dumasari, GambaranHispatologisPemphigusVulgaris, Tesis,
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, 2008.
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, 2008.
Rezeki, Sri dan
Setyawati, Titiek, PemphigusVulgaris:PentingnyaDiagnosis
Dini, PenatalaksanaanYangKomprehensifDanAdekuat, Indonesian Journal
Of Dentistry, 16 (1):1-7, 2009
Dini, PenatalaksanaanYangKomprehensifDanAdekuat, Indonesian Journal
Of Dentistry, 16 (1):1-7, 2009
Fajarini,
Gamabar Anatomi, [Internet] 2008, diambil dari
<http://fajarini.files.wordpress.com/2008/11/ei_03901.gif?w=300>, [diakses
tanggal 08 oktober 2014].
<http://fajarini.files.wordpress.com/2008/11/ei_03901.gif?w=300>, [diakses
tanggal 08 oktober 2014].