Hallo sobat semua kali ini admin akan membahas keterampilan klinis tentang TRANSFUSI DARAH, APUSAN DARAH TEPI DAN BIOPSI SUMSUM TULANG BELAKANG. semoga membantu para pembaca semuanya. semoga bermanfaat banyak ya.
PAPER
TRANSFUSI DARAH, APUSAN DARAH TEPI DAN BIOPSI SUMSUM
TULANG BELAKANG
Transfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah atau komponen darah dari seseorang
(donor) kepada orang lain resipien. (Tarwoto dan Wartonah, 2008).
Transfusi darah adalah infus darah atau komponen
darah ke individu untuk pengobatan kondisi medis. Transfusi dapat homolog (dari
donor) atau autolog (darah yang tersimpan sebelumnya dari penerima). (Kamus kesehatan, 2015).
Transfusi darah adalah proses penyaluran darah ke
tubuh. Langkah medis ini dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ketika tubuh
kekurangan darah. (alodokter,2015)
Tranfusi bertujuan untuk :
·
Mengganti
darah yang hilang akibat pendarahan , luka bakar atau perlukaan
·
Mengatasi
syok
·
Mengatasi
anemia berat
·
Memperthankan
transport oksigen
·
Meningkatkan
homeostasis dan mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi
Jenis tranfusi darah
I.
Tranfusi
darah lengkap (whole blood)
ü
Darah
lengkap mengandung sel darah merah, plasma
protein, hematokrit sekitar 40% . dalam 1 unit darah 250 – 450 ml dengan
antikoagulan 15 / 100 ml darah.
ü
Jenis
tranfusi darah ini adalah darah segar (fresh blood) yaitu darah yang di simpan
kurang dari 6 jam dan darah yang di simpan lebih dari 6 jam.
ü
Penyimpanan:
dalam lemari es bank darah dengan suhu
+20C dan
+60C , tranfusi harus diberikan 30 menit setelah darah di keluarkaan
dari lemari es.
ü
Indikasi
pemberian : perdarahan akut, penggantian volume darah karean perdarahan dengan
kehilangan lebih dari 25% volume darah disertai hipotensi, takikardia , napas
pendek, pucat dan Hb , hematokrit rendah, tranfusi tukar.
ü
Kontra
indikasi : anemia kronis , gagal jantung insipien.
ü
Resiko
pemberian : terkontaminasi oleh mikroorganisme seperti virus hepatitis, HIV ,
sifilis , malaria.
II.
Konsentrat
sel darah merah atau packet red blood cells (PRBCs / PRC)
ü
Sel
darah merah dengan sedikit plasma (hematokrit sekitar 75%), sehingga darah
lebih pekat, trombosit dan sel darah putih tetap , volume 1 unit darah 140 –
200 ml.
ü
Penyimpanan
dan resiko infeksi sama dengan tranfusi darah lengkap.
ü
Cara
pemberian dengan menambahkan larutan salin normal 50 -100 ml.
ü
Indikasi
: pada anemia kronik.
III.
Konsentrasi
trombosit TC
ü
Tidak
boleh disimpan dalam lemari es karena dapat menurunkan fungsi trombosit. Di
simpan dalam suhu 200C -240C, dapat bertahan sampai
dengan 72 jam.
ü
Indikasi
pada leukemia akut , anemia aplastik , atau ITP.
IV.
Plasma
segar dibekukan (fresh frozen plasma) / FFP
ü
Berisikan
plasma yang dipisahkan dari 1 donor darah lengkap, yang dikumpulkan dalam waktu 6 jam, kemudian
di bekukan dengan cepat hingga suhu -250C atau lebih rendah lagi.
ü
Mengandung
plasma dan faktor pembekuan labil (faktor V) dan faktor VIII
ü
Satu
unit atau pak berisikan 200 – 300 ml.
ü
Sebelum
digunakan di cairkan dengan air hangat bersuhu 300C sampai dengan 370C,
kemudia disimpan dalam lemari es dengan suhu +20C sampai +60C
ü
Indikasi
pemberian pada defesiensi faktor pembekuan seperti DIC atau ITP.
Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam pemberian tranfusi darah.
1)
Kaji
nilai laboratorium untuk menentukan indikasi pemberian tranfusi , misalnya
trombosit , hemoglobin.
2)
Cek
kembali order medis , karena pemberian tranfusi darah adalah kewenangan dokter
, termasuk di dalamnya cek jenis tranfusi / tipe produk , dosis, waktu
tranfusi.
3)
Kaji
tanda vital pasien, output urine , warna kulit dan riwayat reaksi tranfusi
darah, hal ini merupakan data dasar untuk menentukan toleransi terhadap
tranfusi.
4)
Tentukan
dan pilih vena yang akan di gunakan.
5)
Cek
produk dari bank darah, termasuk jenis dan tanggal kadaluwarsa.
6)
Bersam
dengan perawat lain sebagai saksi, cek nama pasien, golongan darah, jumlah yang
di berikan, untuk menghindari, kesalahan dan reaksi incompabilitas.
7)
Berikan
tranfusi darah dengan menggunakan set infuse khusus.
8)
Cek
tetesan infuse sesuai order medis.
9)
Observasi
keadaan pasien pada 15 menit sampai dengan 30 menit pertama, reaksi hemolitik
terjadi pada 50 ml pertama masuk.
10) Monitor tanda vital untuk mengetahui perubahan dan
reaksi tranfusi.
11) Setelah tranfusi selesai dokumentasikan dalam catatan
perawatan.
Persiapan sebelum tranfusi
1)
Riwayat
pasien
Pengkajian
riwayat pasien sangat penting untuk mencegah reaksi tranfusi. Tanyakan kepada
klien apakah pernah dilakukan tranfusi, kapan, indikasi penyakitnya dan reaksi
yang mungkin ada. Apakah penyakit jantung , paru paru dan penyakit vascular.
2)
Pengkajian
fisik
a)
Lakukan
pemeriksaan fisik secara sistematis, pemerikasaan tanda-tanda vital.
b)
Kaji
system pernapasan, termasuk auskultasi paru, pengunaan otot otot tambahan
pernapasan dan adanya cuping hidung.
c)
System
kardiovaskular misalnya adanya edema , distensi vena jugularis.
d)
Pemeriksaan
kulit seperti adanya ras, petekhie, ekimosis, pucat dan sianosis.
e)
Periksa
konjungtiva adakah anemis, sclera adakah ikterus.
3)
Pendidikan
kesehatan
Perlu
disampaikan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan,
tujuan dan tanda serta gejala yang kemungkinan timbul terhadap reakasi tranfusi
yang mungkin terjadi seperi adanya demam , menggigil, distress pernapasan nyeri punggung, mual, nyeri pada lokasi
pemberian infuse.
Selama tranfusi
Cek
kembali golongan darah ABO dan Rh baik donor maupun resipien.
Hangatkan
darah secara berlahan-lahan
Sebelum
dan sesudah tranfusi di berikan larutan NaCl fisiologis
Lakukan
tranfusi darah dengan menggunakan set infuse dengan penyaring darah.
Pada
5 menit pertama lakukan secara berlahan- lahan kemudian jumlah tetesan yang
diberikan sesuai indikasi seperti pada syok hipovolemia diberikan secara cepat,
normovolumia 500ml/6 jam , pada anemia 500 ml/ 24 jam
Monitor
keadaan kilen pada 10 sampai 15 menit pertama tranfusi, karena pada menit-
menit tersebut pada saat sekitar 50 ml pertama tranfusi dapat terjadi reaksi
alergi dan anapilaksis.
Untuk
menghindari septisemia tranfusi tidak boleh lebih dari 4 jam
Monitor
dan dokumentasikan tanda dan gejala reaksi tranfusi jika ada.
Setelah
selesai pemberian dilakukan dokumentasi tentang identitas klien , waktu mulai
dan selesai tranfusi, jenis tranfusi , jumlah dan jika ada reaksi catat tanda
dan gejala serta rekomendasikam tindakan lanjutan.
Komplikasi tranfusi
Komplikasi terapi tranfusi
dapat terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah tranfusi . komplikasi
terjadi akibat adanya reaksi tranfusi, sekitar 5% dari semua tranfusi mengalami
reaksi tranfusi.
Ada dua jenis reaksi tranfusi yaitu
reaksi segera dan reaksi lambat.
A.
Reaksi
akut
a.
Akut
hemolitik
Terjadi
akibat lisis eritrosit donor oleh antibody dalam serum resipien. Reaksi ini
umumnya terjasi akibat hantibodi darah ABO donor tidak dikenali oleh resipien,
kesalahan dalam penyimpanan misalnya terlalu dingin atau terlalu panas.
Tanda dan
gejala
v
Kecemasan,
mual, muntah , nyeri pinggang ,menggigil dan demam
v
Tanda-tanda
syok seperti pernapasan cepat nadi cepat, tekanan darah rendah dan sianosis
v
Hemoglobinemia
yaitu hemoglobin yang tinggi dalam darah
v
Tanda-
tanda gagal ginjal seperti oliguria atau anuria.
Penatalaksanaan
v
Hentikan
tranfusi , ganti infuse dengan cairan NaCl fisiologis
v
Pemberian
manitol atau furosemid
v
Berikan
oksigen dan epinefrin
v
Pasang
kateter untuk mengukur output cairan
v
Hemodialisis
jika terjadi gagal ginjal
v
Pengmbilan
darah untuk pemeriksaan Hb, bilirubin.
b.
Reaksi
febril nonhemolitik
Reaksi ini disebabkan oleh sensitivitas antigen sel darah putih,
trombosit dan plasma dari donor.
Tanda dan gejala:
v
Demam
beberapa jam setelah diberikan transfuse
v
Nyeri
kepala dan pinggang
v
Mual
dan muntah
Penatalaksanaan
v
Berikan
RL untuk menjaga syok dan meningkatkan dieresis
v
Berikan
analgesic
c.
Reaksi
alergi
Reaksi alergi biasanya dikenali adanya rash atau urtikaria dan dapat
berkembang dengan adanya edema laring dan spasme bronchial.
Ø
Pemberian
antihistamin dan antipiretik
Ø
Terapi
untuk mengatasi gangguan respirasi
d.
Reaksi
anapilaktik
Reaksi ini jarang terjadi , disebabkan karena defesiensi IgA pada
resipien,pemberian tranfusi yang cepat, khususnya pada pemberian plasma beku
segar. Reaksi ini jika terjadi pada beberapa millimeter darah.
Tanda dan gejala :
v
Kolaps
kardiovaskular seperti adanya hipotensi dan sianosis
v
Gawat
napas misalnya dipneu, bronkospasme, nyeri dada , edema laring
v
Gangguan
gastrointestinal seperti muntah dan diare
v
Tanpa
febris
Penatalaksanaan
v
Pertahankan
jalan napas
v
Berikan
oksigen 100%
v
Epinefrin
e.
Overload
sirkulasi (kelebihan muatan cairan)
Kelebihan muatan cairan dapat menimbulkan kerusakan pada jantung, paru
dan ginjal, sehingga dapat menyebabkan gagal jantung, edema paru . kelebihan
muatan dapat disebabkan karena terlalu banyak
cairan yang ditranfusikan , terlalu cepat tranfusi diberikan atau adanya
fungsi ginjal yang terganggu.
Tanda dan gejala:
v
Batuk
v
Kesulitan
bernapas
v
Sianosis
Penatalaksanaan
v
Pemberian
digitalis untuk mencegah gagal jantung
v
Pertahankan
jalan napas, pemberian oksigen
B.
Reaksi
lambat
a.
Reaksi
tranfusi hemolitik lambat
Terjadi pada 5 sampai 10 hari pasca tranfusi, terjadi karena reaksi
antibody dalam bentuk IgG.
Tanda dan gejala:
v
Febris
v
Anemia
v
Ikterus
Penatalaksanaan
v
Tidak
memerlukan terapi khusus, kecuali adanya anemia atau ikterus berat.
b.
Penularan
infeksi
Penularan
infeksi dapat berupa hepatitis , malaria, sifilis dan HIV
Evaluasi
terapi tranfusi
Keberhasilan terapi tranfusi
tergantung pada kondisi pasien, indikasi dan tujuan tranfusi. Beberapa kriteria
keberhasilan tranfusi darah diantaranya:
§
Menurunnya
jumlah frekuensi nadi sampai batas normal
§
Meningkatnya
tekanan darah dalam batas normal
§
Hematokrit
dalam batas normal
§
Kesadaran
meningkat
§
Respiratori
dalam keadaan normal, tidak ada sianosis dan nilai analisa gas darah normal
§
Tidak
ada reaksi tranfusi
I.
BAHAN PEMERIKSAAN
Bahan pemeriksaan yang dipakai adalah darah vena.
II.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui dan mempelajari teknik pembuatan sediaan apusan darah tepi.
2. Untuk
mengetahui gambaran sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit).
III.
PRINSIP
Darah diteteskan di objek glass,
dipaparkan (spreading) kemudian di keringkan dengan bagian ekor di atas, dicat
lalu dilihat di bawah mikroskop.
IV.
REAGEN/BAHAN
1. Sampel darah
vena.
2. Na2EDTA.
V.
ALAT
1. Objek glass.
2. Deck glass.
3. Pipet tetes.
4. Mikroskop.
VI.
DASAR TEORI
Sediaan apus darah
tepi merupakan
slide untuk mikroskop yang pada salah satu sisinya dilapisi dengan lapisan
tipis darah vena yang diwarnai dengan pewarnaan (wright/giemsa) dan diperiksa
di bawah mikroskop. Sediaan apus yang baik adalah yang ketebalannya cukup dan
bergradasi dari kepala (awal) sampai ke ekor (akhir). Zona morfologi sebaiknya
paling dari kurang 5 cm. Ciri sediaan apus yang baik meliputi:
·
Sediaan tidak melebar sampai tepi kaca objek, panjang
½ – 2/3 panjang kaca.
·
Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa, pada
bagian itu eritrosit tersebar merata berdekatan dan tidak saling menumpuk.
·
Pinggir sediaan rata, tidak berlubang dan tidak
bergaris-garis.
·
Penyebaran leukosit yang baik tidak berkumpul pada
pinggir atau ujung sedimen.
Kegunaan dari pemeriksaan apusan darh
tepi yaitu untuk mengevaluasi morfologi dari sel darah tepi (trombosit,
eritrosit, leukosit), memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit, identifikasi
parasit. Persyaratan pembuatan apusan darah yaitu objek glass harus bersih,
kering, bebas lemak. Segera dibuat setelah darah yang diteteskan, karena jika
tidak persebaran sel tidak merata. Leukosit akan terkumpul pada bagian
tertentu, clumping trombosit. Teknik yang digunakan menggunakan teknik dorong
(push slide) yang pertama kali diperkenalkan oleh maxwell wintrobe dan menjadi
standar untuk apus darah tepi.
1. PROSEDUR
1. Menyiapkan
semua alat dan bahan.
2. Mengambil
tetesan darah dengan pipet dan meneteskannya pada objek glass.
3. Meletakkan
deck glass di depan tetesan darah dengan sudut 35˚-45˚.
4. Menarik deck
glass ke belakang sampai menempel dengan darah, kemudian menariknya ke depan.
5. Mengeringkan
selama 10 menit dengan ekor di bagian atas.
6. Memberi
nama/label.
1. HASIL
PENGAMATAN
Morfologi apusan:
1. Kepala :
tebal
2. Badan
: lebih tipis dari bagian kepala
3. Kaki
: tipis
Zona:
I. : Masih terdapat tumpukan
eritrosit, tebal, berdesakan, tidak beraturan.
II.
: Lebih tipis, eritrosit masih bertumpuk, tidak rata.
III.
: Tebal, eritrosit bergerombol, roulex.
IV.
: Sama seperti zona II, tipis.
V.
: Sel darah tidak tertumpuk, penyebaran satu-satu, rata, bentuk utuh.
VI.
: Sangat tipis, lebih longgar dan jarang.
VII.
PEMBAHASAN
Sediaan apus darah tepi dapat
digunakan untuk berbagai macam pemeriksaan, misalnya untuk mengevaluasi
morfologi sel darah, memperkirakan jumlah sel darah dan juga pemeriksaan
identifikasi parasit. Untuk membuat sediaan hapus darah tepi dibutuhkan teknik
dan kemampuan. Karena kita harus hati-hati dalam membuatnya. Pada praktikum kali
ini, tidak dilakukan pengecatan. Pembacaan yang baik adalah pembacaan pada zona
ke V. Karena pada zona tersebut eritrosit terletak satu-satu, tidak
bertumpuk-tumpuk. Pembacaan dimulai dari perbesaran10x, dilanjutkan dengan
perbesaran 40x. Hasilnya pada zona ke V ditemukan eritrosit yang tersebar
merata (satu-satu), tidak bertumpuk-tumpuk dan bentuknya utuh. Terdapat juga
leukosit dengan ukuran yang lebih besar dari eritrosit. Dalam praktikum ini,
kesalahan sering terjadi pada pembuatan apusan darah. Diantaranya adalah darah
yang diteteskan terlalu banyak, saat melakukan spreading ragu-ragu sehingga
terbentuk sediaan yang bergaris-garis, kurang bersih saat membersihkan objek
glass (lemaknya masih ada) sehingga terdapat lubang-lubang dan ekor seperti
bendera robek. Hal ini disebabkan oleh kurangnya latihan dan teknik yang
dimiliki oleh praktikan.
VIII.
KESIMPULAN
Didapatkan sediaan apus darah tepi yang baik.
Pada zona ke
V terlihat eritrosit yang tersebar satu-satu, leukosit dan trombosit
v
Tatacara
pengambilan pungsi lumbal:
Jarum di insersikan ke dalam
ruang subaraknoid melalui ruang diantara lumbal ketiga dan keempat atau keempat
dan kelima untuk menarik cairan spinal.
v
Praprosedur
:
1.
Yakinkan
pasien bahwa penusukan jarum ke dalam tulang belakang tidak akan menyebabkan
nyeri .
2.
Periksa
apakah sudah melakukan pengosongan usus besar atau kandung kemih.
v
Prosedur
:
1.
Posisi
pasien adalah sebagai berikut :
a.
Pasien
diletakkan dengan miring dan punggung berhadapan dengan dokter.
b.
Paha
dan kaki difleksi sehingga banyak kemungkinan peningkatan ruang antara
prosessus spinosus dengan tulang belakang,sehingga memudahkan jarum masuk ke
ruang subaraknoid.
c.
Bantal
kecil ditempatkan dibawah kepala pasien untuk mempertahankan posisi tulang
belakang dalam keadaan horizontal.
d.
Bantal
diletakkan diantara kaki untuk mencegah kaki bagian atas memutar progresif
e.
Perawat
boleh membantu pasien untuk mempertahankan posisi untuk menghindari gerakan
tiba tiba, yang menyebabkan traumatik pada tusukan berdarah
2.
Pasien
diinstruksikan untuk bernapas dengan normal karena hiperventilasi dapat
mengurangi peninggian tekanan.
3.
Dokter
memasukan jarum ke ruang subaraknoid pada ruang antara lumbal ke-3 dan ke-4
atau ke-4 dan ke-5
v
Pasca
prosedur :
1.
Instruksikan
pasien untuk berbaring 2-3 jam untuk mensejajarkan pungsi jarum dural dan
araknoid di dalam meningen, untuk menurunkan kebocoran CSS
2.
Anjurkan
meningkatkan asupan cairan untuk menurunkan risiko pusing setelah prosedur.
Prosedur khusus pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan
cerebrospinal
Pungsi lumbal dilakukan
dengan memasukan jarum ke dalam ruang subaraknoid untuk mengeluarkan CSS yang
bertujuan untuk diagnostic atau pengobatan. Tujuan memperoleh CSS adalah untuk
di uji , di ukur dan menunjukan tekanan CSS , untuk menentukan ada atau tidak
adanya darah di dalam CSS, mendeteksi sumbatan subaraknoid spinal dan pemberian
antibiotic intratekal yaitu ke dalam kanal spinal – pada kasus infeksi.
Jarum biasanya dimasukkan ke
dalam ruang subaraknoid diantara tulang belakang daerah lumbal ketiga dan
keempat atau antara keempat dan kelima. Karena medulla spinalis membagi dalam
sebuah berkas saraf pada tulang belakang bagian lumbal yang pertama maka jarum
ditusukan di bawah tingkat ketiga tulang belakang daerah lumbal, untuk mencegah
medulla spinalis tertusuk.
Pungsi lumbal yang berhasil
membutuhkan pasien dalam keadaan rileks ; kecemasan pasien membuat tegang dan
peningkatan kecemasan dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada saat hasil
dibaca. Jarak normal tekanan cairan spinal dengan posisi rekumben adalah 70 sampai
200 mm H2O. tekanan sampai 200 mm H2O dikatakan abnormal.
Pungsi lumbal sangat
berbahaya bila dilakukan pada massa lesi intracranial, karena tekanan
intracranial di turunkan melalui pengeluaran CSS, maka herniasi otak menurun
sampai tentorium dan foramen magnum.
Tes Queckenstedt. Uji
manometrik lumbal dapat dilakukan dengan menekan vena jugularis pada masing
masing sisi leher selama pungsi lumbal.
Peningkatan tekanan disebabkan adanya tekanan, sehingga tekanan di kurangi dan
tekanan di baca dengan membuat interval pada 10 detik.
Normalnya, tekanan CSS
meninggi cepat dalam berespon terhadap penekanan vena jugularis dan menurun
dengan cepat sampai normal bila penekanan dikurangi.peninggian lambat dan
turunnya tekanan merupakan indikasi adanya hambatan sebagian karena penekanan
sebuah lesi pada jalur subaraknoid spinal. Jika tidak ada perubahan tekanan
merupakan indikasi adanya hambatan total. Uji ini tidak digunakan jika
dicurigai adanya lesi intracranial.
Pemeriksaan cairan
cerebrospinal. CSS harus jernih dan tidak berwarna. Warna merah muda, adanya
darah, atau bercampur darah merupakan indikasi sebuah kontusio serebraal,
laserasi atau perdarahan subaraknoid. Kadang kadang karena kesulitan dalam
pungsi lumbal , CSS dapat mengandung darah, karena ada trauma local tetapi
akhirnya menjadi jernih.
Umumnya, specimen diperoleh
untuk melihat jumlah sel, kultur, kandungan glukosa dan protein. Specimen ini
harus segera dikirim ke laboratorium
karena perubahan tempat dapat mengubah hasil pemeriksaan specimen yang benar.
Sakit kepala pasca pungsi
lumbal. Setelah pungsi lumbal, pusing dapat terjadi dengan skla sedang sampai
berat , dapat terjadi dalam beberapa hari setelah prosedur. Tindakan sering
menyebabkan komplikasi yaitu sekitar 11% - 25% pasien. Denyutan bifrontal atau
sakit kepala daerah oksipital , dengan karakteristik ringan dan dalam ,
terutama sekali bertambah berat pada saat duduk atau berdiri tegak tetapi hal
ini berkurang atau hilang bila pasien dibaringkan.
Penyebab sakit kepala
disebabkan karena bocornya CSS pada tempagt pungsi , cairan terus menerus
keluar ke jaringan dari kanan spinal melalui jejak jarum, kemudian diabsorbsi
dengan cepat oleh getah bening. Sebagai akibat kebocoran ini, suplai CSS di
dalam cranium menjadi kosong, dimana hal ini tidak cukup untuk mempertahankan
stabilisasi mekanik otak dengan tepat. Kebocoran pada CSS ini menyebabkan
penurunan otak bila pasien dengan posisi tegak, yang akan menimbulkan tegangan
dan regangan sinus venosus dan struktur yang sensitive merasakan nyeri. Baik
tegangan dan nyeri dikurangi dan kebocoran ditunkan ketika pasien berbaring.
Penatalaksanaan pada sakit
kepala setelah pungsi yaitu tirah baring, pemberian analgetik dan hidrasi.
Kadang kadang jika sakit kepala berlangsung setelah pungsi , maka dapat
digunakan dengan teknik epidural blood patch. Darah dikeluarkan dari vena
antekubital dan disuntikan masuk kedalam runang epidural, biasanya pada tempat
dilakukan pungsi spinalis. Landasannya adalah darah memainkan peran sebagai
gelatinosa yang menutupi rongga di dalam dura sehingga mencegah kehilangan CSS
yang terus menerus.
Pencegahan sakit kepala
akibat pungsi pada lumbal dapat dihindari jika jarum yabng di gunakan kecil dan
jika pasien tetap diperthankan dalam posisi telungkup setelah prosedur. Bila
volume yang di keluarkan banyak, pasien diberikan posisi telungkup selama 2
jam. Kemudian posisi telentang miring selama 2 sampai 3 jam, dan telentang atau
telugnkup selama lebih dari 6n jam. Pertahankan posisi datar sepanjang malam
untuk menurunkan kejadian sakit kepala.
Komplikasi lain dari pungsi
lumbal meliputi herniasi intracranial, komplikasi akibat trauma, abses spinal
bagian epidural, hematosa spinal pada epidural dan meningitis.
DAFTAR PUSTAKA
Tarwoto dan Wartonah. 2008.
Keperawatan medical bedah gangguan sistem hematologi. Jakarta: trans info
media.
Smeltzer, Suzanne C. 2001 .
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
https://nae010693.wordpress.com/tag/sediaan-apus-darah-tepi/
http://www.alodokter.com/selain-bermanfaat-transfusi-darah-juga-berisiko
http://kamuskesehatan.com/arti/transfusi-darah/
http://google.images.com