Asuhan Keperawatan Sydroma Johnson

halo sobat hari ini admin akan membagikan Artikel tentang Asuhan Keperawatan pada Klien Symembacandrome Johnson dan Teori Penyakitnya. Semoga dengan ini akan membaru para Pembaca, selamat . 
BAB I

PENDAHULUAN
Asuhan Keperawatan Sydroma Johnson
www.materikeperawatan.xyz

  1. Latar Belakang

 Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya  bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14  per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit. Namun  pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini  bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan. ( Support, Edisi November 2008 )
Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyebabkan penyakit AIDS (Acquired immunodeficiency Syndrom), yaitu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan akan berakhir dengan kematian. Banyak orang dengan HIV positif tidak menyadari bahwa mereka membawa virus tersebut dan akan menyebarkannya tanpa disadari lewat kontak dengan darah serta cairan tubuh. Para pekerja kesehatan yang bekerja dirumah sakit menghadapi resiko untuk terinfeksi, Perawat yang merasa stres dan menanggung beban mental yang terlalu berat dapat mengalami distres fisik serta mental dalam bentuk keluhan mudah lelah, sakit kepala, perubahan pola makan serta tidur, perasaan tidak berdaya mudah tersinggung , apatis, negativitas dan amarah.
Perawatan Penderita HIV / AIDS yang tersusun didalam makalah ini diharapkan menjadi pengetahuan bagi Mahasiswa/ Mahasiswi AKPER PEMDA Kab. Subang sebagai gambaran tindakan keperawatan yang dilakukan oleh Mahasiswa ketika praktek di lapangan

  1. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Steven Johnson?
2. Apa etiologi dari Steven Johnson?
3. Apa tanda dan gejala Steven Johnson?
4. Apa faktor predisposisi Steven Johnson?
5. Bagaimana patofisiologi dari Steven Johnson?
6. Apa komplikasi dari Steven Johnson?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk Steven Johnson?
8. Bagaimana penatalaksanaan untuk sindrom Steven Johnson?
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit Steven Johnson?

  1. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Steven Johnson?
2. Mengetahui etiologi dari Steven Johnson?
3. Mengetahui faktor predisposisi Steven Johnson?
4. Mengetahui tanda dan gejala Steven Johnson?
5. Mengetahui patofisiologi dari Steven Johnson?
6. Mengetahui komplikasi dari Steven Johnson?
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk Steven Johnson?
8. Mengetahui penatalaksanaan untuk Syndrom Steven Johnson?
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada Syndrom Steven Johnson?
 




SINDROM STEVEN JOHNSON
1.1 ANATOMI FISIOLOGI KULIT

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan proteksi terhadap organ-organ yang terdapat dibawahnya dan membangun sebuah barrier yang memisahkan organ-organ internal dengan lingkungan luar dan turut berpartisipasi dalam banyak fungsi tubuh yang vital.
Kulit terbagi atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis dan subcutan.
1.      Epidermis
Epidermis merupakan lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda: 400-600 μm untuk kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm untuk kulit tipis (kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel, epidermis juga tersusun atas lapisan:
a)      Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis. Melanosit menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap rangsangan hormon hipofisis anterior, hormon perangsang melanosit (melanocyte stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis yang terutama terlibat dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit dan rambut.
b)      Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang, yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting dalam imunologi kulit.Sel-sel imun yang disebut sel Langerhans terdapat di seluruh epidermis. Sel Langerhans mengenali partikel asing atau mikroorganisme yang masuk ke kulit dan membangkitkan suatu serangan imun. Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab mengenal dan menyingkirkan sel-sel kulit displastik dan neoplastik. Sel Langerhans secara fisik berhubungan dengan saraf-sarah simpatis , yang mengisyaratkan adanya hubungan antara sistem saraf dan kemampuan kulit melawan infeksi atau mencegah kanker kulit.
c)      Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
d)     Keratinosit, lapisan eksternal kulit tersusun atas keratinosit (zat tanduk) dan lapisan ini akan berganti setiap 3-4 minggu sekali. Keratinosit yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam  sebagai berikut:
·         Stratum corneum : lapisan paling luar yang terdiri dari sel-sel gepeng dan tidak berinti lagi, sudah mati dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin.
·         Stratum lucidum : hanya terdapat pada kulit yang tebal, memiliki sel-sel yang sejenis dengan sel-sel yang berada di stratum corneum.
·         Stratum granulosum : terdiri dari tiga sampai empat lapisan atau keratosit yang dipipihkan. Keratosit ini berperan besar terhadap susunan keratin di dalam lapisan atau epidermis.
·         Stratum spinosum/spongiosum : terdiri atas beberapa lapis sel yang membentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda, karena adanya proses mitosis. Protoplasmannya jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti terletak di tengah. Diantara spinosum terdapat sel langerhans yang mengaktifkan sistem imun.
·         Stratum basale : lapisan terdalam epidermis, 10-20% sel adalah melanosit dan melanin. Butiran melanin berkumpul pada permukaan setiap keratinosit.
Pada daerah kulit terdapat juga kelenjar keringat, yang terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan duet yaitu saluran seperti pipa yang bermuara pada permukaan kulit yang membentuk pori-pori keringat.
a.       Kelenjar sebasea, berkaitan dengan folikel rambut, ductus kelenjar sebasea akan mengosongkan sekret minyaknya ke dalam ruangan antara folikel rambut dan batang rambut serta untuk setiap lembar rambut terdapat sebuah kelenjar sebasea yang sekretnya akan melumasi rambut dan membuat rambut menjadi lunak serta lentur.
b.      Kelenjar keringat, ditemukan pada kulit sebagian besar permukaan tubuh. Kelenjar ini terutama terdapat pada telapak tangan dan kaki. Hanya glans penis, bagian tepi bibir (margo labium oris), telinga luar dan dasar kuku yang tidak mengandung kelenjar keringat. Kelenjar keringat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
§  Kelenjar ekrin, ditemukan pada semua daerah kulit. Saluran keluarnya bermuara langsung ke permukaan kulit. Keringat dikeluarkan dari kelenjar ekrin sebagai reaksi terhadap kenaikan suhu sekitarnya dan kenaikan suhu tubuh.
§  Kelenjar apokrin, terdapat di daerah aksila, anus, skrotum dan labia mayora yang aktif pada masa pubertas. Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh dan diuraikan oleh bakteri sehingga menghasilkan bau yang khas.
2. Dermis
Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe, serabut saraf, kelenjar keringat serta sebasea dan akar rambut. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan yaitu :
·         Lapisan papillaris yaitu bagian yang menonjol ke epidermis merupakan jaringan fibrous tersusun longgar yang berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
·         Lapisan retikularis yaitu bagian di bawah lapisan papilaris yang menonjol ke arah subcutan, lebih tebal dan banyak jaringan ikat.
Lapisan dermis juga ini mengandung sel-sel khusus yang membantu mengatur suhu, melawan infeksi, air menyimpan dan suplai darah dan nutrisi ke kulit. Sel-sel khusus dari dermis juga membantu dalam mendeteksi sensasi dan memberikan kekuatan dan fleksibilitas untuk kulit.


3. Jaringan Subcutan/ Hipodermis
Merupakan lapisan kulit yang paling dalam. Lapisan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang. Jaringan subcutan dan jumlah lemak yang tertimbun merupakan faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh dan sebagai bantalan antara kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang. Sebagai mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas.
·        
Fungsi Kulit
1.      Perlindungan (proteksi)
Kulit melindungi tubuh dari segala pengaruh luar, misalnya bahan kimia, mekanis, bakteriologis dan lingkungan sekitarnya yang senantiasa berubah-ubah.
2.      Sensibilitas/fungsi sensori
Fungsi utama reseptor pada kulit adalah untuk mengindera suhu, rasa nyeri, sentuhan yang ringan dan tekanan. Berbagai ujung saraf bertanggung jawab untuk bereaksi terhadap setiap stimuli yang berbeda.
3.      Keseimbangan air
Stratum corneum memiliki kemampuan untuk menyerap air dan dengan demikian akan mencegah kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh dan mempertahankan kelembaban dalam jaringan subkutan.
4.      Pengaturan suhu (thermoregulator)
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil metabolisme makanan yang memproduksi energi. Panas ini akan hilang terutama lewat kulit.
5.      Fungsi respons imun
Beberapa sel dermal (sel langerhans, interleukin-1 yang memproduksi keratinosit dan sub kelompok limfosit T) merupakan komponen penting dalam sistem imun.

1.2  Pengertian
Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata berupa eritema, vesikel atau bula, kelainan di mukosa dan konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.

1.3             Etiologi
a.          Infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit)
b.          Obat (salisilat, sulfa, penisilin,etmbutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif)
c.          Makanan (coklat)
d.         Fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar x)
e.          Lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan)

1.4             Patofisiologi
Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, diduga disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibody yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi akumulasi neutrophil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada target organ. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi peradangan (Corwin, 2001)

1.5          Manifestasi Klinis
a.       Gejala prodromal berkisar 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, sakit saat menelan, nyeri dada, muntal, pegal otot dan atralgia.
b.      Kulit berupa ruam, eritema, papel, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh
c.       Mukosa berupa vesikel atau bula, erosi, pendarahan dan kusta berwarna merah. Stomatitis ulserasif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama sindrom steven Johnson
d.      Pada mata, bengkak di kelopak mata atau mata merah, konjungtivitas kataralis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.

1.6           Komplikasi
a.       Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, syok.
b.      Oftalmologi : Ulserasi kornea, kebutaan
c.       Gastroenterologi : Esophangeal strcture
d.      Genitourinaria : Nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
e.       Pulmonari : pneumonia, bronchopneumonia
f.       Kutaneus : timbul jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
g.      Infeksi sistemik, sepsis.

1.7      Insiden
SSJ diperkirakan 2-3% perjuta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat.Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya, yang umumnya dewasa. Angka kematian akibat SSJ bervariasi antara 5-12%. Walaupun SSJ mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan terkena sindrom ini.

1.8   Prognosis
Tindakan secara cepat dan tepat pada penyakit SSJ maka prognosis dapat memuaskan. Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopeni prognosis lebih buruk.Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai jenis komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

1.9   Tes Diagnostik
a.       Laboratorium
o   Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
o   Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi
b.      Histopatologi
o   Infiltrasi sel ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
o   Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
o   Degenerasi hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
o   Nekrosis sel epidermal
o   Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
c.       Imunologi
o   Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan
o   Komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau dalam kontribusi
1.10     Penatalaksanaan
a.       Terapi suportif
Merupakan penatalaksaan standar pada klien SSJ. Klien yang umumnya dating dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan proten yang sesuai parenteral. Pemberian cairan tergantunga dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui NGT dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
b)      Antibiotik
Bagi klien dengan infeksi diberikan antibiotic spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuscular dalam dua dosis. Pemberian antibiotic selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji esistensi kuman dari sediaan lesi kulir dan darah.
c)      Obat Kortikosteroid
DIberikan secara parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5mg/kgBB setiap 6jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednisone per oral.
d)      Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Penggunaannya dapat menghentikan progretivitas penyakit SSJ dengan dosis 1gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut.
e)      Perawatan kulit dan mata
Kulit dibersihkan dengan larutan saling fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele ocular dapat diberikan obat tetes mata dengan antriseptik.
f)       Faktor penyebab harus segera diatasi atau dihindari
g)      Antihistamin
Bila diperlukan terutama bila ada rasa gatal.
h)      Lesi mulut diberi kenalog in orabase
i)        Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topical pada lesi kulit

2.1 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Keluhan utama
Adanya kerusakan atau perubahan struktur kulit dan mukosa berupa kulit melepuh, mata merah, mukosa mulut mengelupas
b) Pemeriksaan Fisik
Lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus:
·         Adanya eritema, yaitu kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang teroksigenasi pada vaskularisasi dermal.
·         Vesikel, bula dan purpura
·         Ekimosis, yaitu kemerahan yang terlokalisir atau perubahan warna keunguan yang disebabkan oleh ekstravasasi darah ke dalam jaringan kulit dan subkutan
·         Ptekie, yaitu bercak kecil dan berbatas tajam pada lapisan epidermis superfisial
·         Lesi sekunder, yaitu perubahan kulit yang terjadi karena perubahan pada lesi primer, yang disebabkan oleh obat, involusi dan pemulihan.
·         Konjungtivitis, ulkus korena, iritis dan iridoksiklitis
·         Kelainan selaput lendir di mukosa mulut, genetalia, hidung dan anus
2. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal
b) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
c) Gangguan rada nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
d) Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
e) Gangguan persepsi sensori: kurangnya penglihatan berhubungan dengan konjungtivitis





3. Intervensi dan Implementasi
a) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal san epidermal
Tujuan
Intervensi
Rasional
Menunjukkan kulit dan jarigan kulit yang utuh
Observasi kulit setiap hari, catat turgor, sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi
Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara agar meningkatkan proses pemyembuhan dan menurunkan risiko infeksi
Jaga kebersihan alat tenun
Mencegah infeksi
Kolaborasi dengan tim medis
Mencegah infeksi berlanjut

b) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
Tujuan
Intervensi
Rasional
Menunjukkan berat badan stabil atau terjadi penambahan berat badan
Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
Memberikan klien/orang terdekat rasa kontrol dan meningkatkan pertisipasi
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Membantu mencegah distensi gaster atau ketidaknyamanan
Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
Meningkatkan nafsu makan
Kolaborasi dengan ahli gizi
Mengetahui dan mengontrol kalori dan vitamin untuk memenuhi kebutuhan metabolic, mempertahankan BB serta mendorong regenerasi jaringan

c)      Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamsi pada kulit
Tujuan
Intervensi
Rasional
Klien melaporkan bahwa nyeri berkurang dan menunjukkan ekspresi wajah atau postur tubuh rileks
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Nyeri hamper selalu ada pada derajat beratnya keterlibatan jaringan
Berikan tindakan kenyamanan dasar, contohnya pijatan pada area yang sakit
Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelemahan umum
Pantau tanda-tanda vital
Metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
Berikan analgesic sesuai indikasi
Menghilangkan rasa nyeri

d)     Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan
Intervensi
Rasional
Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Kaji respon individu terhadap aktivitas
Mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
Bantu klien dalam memenuhi aktivitas dengan keterbatasan yang dimiliki klien
Energi yang dikeluarkan lebih optimal
Jelaskan pentingnya pembatasan energi
Energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Klien mendapat dukungan psikologis dari keluarga

e)      Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan berhubungan dengan konjungtivitis
Tujuan
Intervensi
Rasional
Kooperatif dalam tindakan serta menyadari hilangnya penglihatan secara permanen
Kaji dan catat ketajaman penglihatan
Menentukan kemampuan visual
Kaji deskripsi fungsional apa yang dilihat/tidak
Memberi keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan
Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan penglihatan
Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan
Orientasikan terhadap lingkungan:
-Letakkan peralatan yang sering dipakai dalam jangkauan penglihatan klien
-Berikan pencahayaan yang cukup
-Letakan peralatan di tempat yang tetap
-Berikan bahan bacaan dengan tulisan yang besar
-Hindari pencahayaan yang menyilaukan
-Gunakan jam yang ada bunyinya
Memberikan keamanan dan kenyamanan klien, memudahkan klien melakukan aktivitas  dan menggunakan peralatan yang dibutuhkan
Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien
Meningkatkan rangsangan ketika kemampuan penglihatan menurun.

BAB II
PEMBAHASAN

A.         Definisi
1.      AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh vurus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh yang didapat.
Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunan
Immune : Sistem kekebalan tubuh
Deficiency : Kekurangan
Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit
2.      Kerusakan progresif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA (orang dengan HIV /AIDS) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal (Depkes RI: 2005)
3.      AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar (bukan dibawa sejak lahir) (Sudoyo; 2006)
4.      AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )

B.  Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTLV III, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.

C.  Transmisi Infeksi HIV AIDS
Terdapat lima fase :
  1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
  2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
  3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
  4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
  5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.

D.    Penularan HIV
  1.  Seks bebas dengan penderita yang positif mengidap HIV. Maka bagi para pelaku seks bebas biasanya akan menggunakan salah satu alat kontrasepsi yaitu kondom. Maka ketika menteri kesehatan baru Indonesia yang dilantik menggantikan Endang Rahayu Sedyaningsih pada tanggal 14 Juni 2012 lalu ketika mengkampanyekan pemakaian kondom ini menuai kontroversial. Karena banyak juga masyarakat yang menilai bahwa kampanye pemakai kondom kontroversial tersebut akan bisa membuat persepsi bahwa hal tersebut menghalalkan akan adanya seks bebas pula.
  2. Mendapatkan transfusi darah yang tercemar akan virus HIV.
  3. Penggunaan jarum suntik yang bergantian, penggunaan jarum tindik atau pun pembuatan tatto yang telah tercemar virus HIV. Dalam hal penggunaan jarum suntik, maka para pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik sebagai medianya adalah termasuk dalam golongan orang yang mempunyai resiko tinggi tertular penyakit AIDS ini.
  4. Penularan dari ibu hamil yang positif HIV AIDS kepada janin yang dikandungnya. Sehingga bila bayi tersebut lahir maka sang bayi akan bisa mengidap pula penyakit yang serupa.

E.  Klasifikasi
1.      Klasifikasi menurut CDC (Center of Disease Control and Prevention)
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebaln tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4 dan tiga kategori klinis yaitu :
a.  Kategori 1 : < 500 Gejala kronik atau intermiten
b. Kategori 2 : < 200 Gejala semakin parah dan persisten
c. Kategori 3 : < 200 Meningkatnya probabilitas infeksi

Klasifikasi CDC juga bisa digunakan untuk surveilans penyakit yang dikategorikan AIDS.
  1. Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C
1)      Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
2)      Limpanodenopati generalisata yang persisten (PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty)
3)      Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
  1. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1)      Angiomatosis Baksilaris
2)      Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi)
3)      Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
4)      Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5 oC ) atau diare lebih dari 1 bulan.
5)      Leukoplakia yang berambut
6)      Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
7)      Idiopatik Trombositopenik Purpura
8)      Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
  1. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1)      Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2)      Kanker serviks inpasif
3)      Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4)      Kriptokokosis ekstrapulmoner
5)      Kriptosporidosis internal kronis
6)      Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
7)      Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
8)      Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
9)      Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10)  Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
11)  Isoproasis intestinal yang kronis
12)  Sarkoma Kaposi
13)  Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14)  Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
15)  M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
16)  Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
17)  Pneumonia Pneumocystic Cranii
18)  Pneumonia Rekuren
19)  Leukoenselophaty multifokal progresiva
20)  Septikemia salmonella yang rekuren
21)  Toksoplamosis otak
22)  Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)

2.      Klasifikasi klinis menurut WHO
         i.       Gejala Mayor
1)      Penurunan berat badan lebih dari 10% selama 1 bulan
2)      Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
3)      Diare kronis
4)      Tuberkulosis
            ii.       Gejala Minor
1)       Kandidiasis orofaringeal
2)       Batuk menetap lebih dari 1 bulan
3)       Kelemahan tubuh
4)       Berkeringat pada malam hari
5)       Hilangnya nafsu makan
6)       Infeksi kulit
7)       Limfadenopati generalisata
8)       Herpes zoster
9)       Infeksi Herpes simplex kronis
10)   Pneumonia
11)   Sarkoma Kopasi


3.    Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel/ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu  sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.


4.      Manifestasi klinik
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal
1.      Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Akut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.
2.      Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala
Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.
3.      Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.

5.    Komplikasi
1.      Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2.      Neurologik
a.       Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
b.      Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
c.       Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik.
d.      Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)

3.      Gastrointestinal
a.      Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
b.      Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
c.      Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.

4.      Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.

5.      Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.

6.      Sensorik
a.       Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b.      Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.


6.    Tes Diagnostik
1)    Tes untuk diagnosa infeksi HIV
a.    Tes Laboratorium
-                                Serologis
-                                Budaya
-                                Neurologis
-                                Tes lainnya

b.    Tes antibodi
-       ELISA : Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
     Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.

-       Western blot : Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)

-       P24 antigen test : Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.
2)    Tes untuk deteksi gangguan system imun. Berapa kadar normalnya
a.       Hematokrit.
b.      LED
c.       CD4 limfosit
d.      Rasio CD4/CD limfosit
e.       Serum mikroglobulin B2
f.       Hemoglobulin

7.    Penatalaksanaan Medis
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1.      Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2.      Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3.      Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4.      Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5.      Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
1.      Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

2.      Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < >3. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
3.      Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah:
a.       Didanosine
b.      Ribavirin
c.       Diedoxycytidine
d.      Recombinant CD 4 dapat larut

4.      Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

5.      Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.

6.      Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

  ii.      Pengkajian
1.      Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a.       Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limpoma, kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
b.      Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital, protein – liosing enteropati (peradangan usus)
2.      Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
a.       Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas (Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan).
b.      Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c.       Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d.      Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna, dan karakteristik urine.
e.       Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema
f.       Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g.      Neurosensoro
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis, kejang.
h.      Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri dada pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan rentan gerak, pincang.
i.        Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j.        Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
k.      Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan, herpes genetalia
l.        Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS
Tanda : Perubahan interaksi
a.       Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan, prilaku seks beresiko tinggi, penyalahgunaan obat-obatan IV, merokok, alkoholik.
3.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1)      Serologis
a)      Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
b)      Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
c)      Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
d)     Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
e)      T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
f)       P24 (Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
g)      Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
h)      Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
i)        Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
2)      Budaya
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.

3)      Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
4)      Tes Lainnya
a)      Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
b)      Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c)      Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d)     Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e)      Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
b.      Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
b)      Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
c)      Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
d)     Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
e)      Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.

c.       Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.
Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus (viral burden)

AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/ hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gels bekas dipakai penderita, handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.
Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem kekebalan tubuh.
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.

a.      Diagnosa Keperawatan
2.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
3.      Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
4.      Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
5.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
6.      Diare berhubungan dengan infeksi GI
7.      Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.


    i.      Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
Rasional
Resiko infeksi yang berhubungan dengan penekanan sistem imun, kurangnya pengetahuan untuk menghindarai pajanan patogen, pertahanan tubuh lapis kedua tidak memadai

Faktor resiko infeksi akan hilang dibuktikan dengan
Pengendalian resiko kominitas; penyakit menular; penyakit imun, keparahan infeksi; pengendalian resiko: penyakit menular seksual  dan peneyembuhan luka
1.     Monitor tanda-tanda infeksi baru.

2.     gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.

3.     Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.

4.     Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.     Atur pemberian antiinfeksi sesuai order  

Untuk pengobatan dini
Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.

Mencegah bertambahnya infeksi


Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan

Mempertahankan kadar darah yang terapeutik
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diare, menifestasikulit akibat infeksi HIV

Kieln dapat mempertahankan integritas kulit
Perawatan luka/ kulit secara rutin seperti : ubah dan atur posisi klien secara periodic


Mencegah komplikasi luka dan mienigkatkan penyembuhan luka

Meminimalakan oenekanan pada tubuh
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.

Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
1.         Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.         Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.         Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

Respon bervariasi dari hari ke hari

Mengurangi kebutuhan energi

Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.

Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.
1.         Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.         Monitor BB, intake dan ouput
3.         Atur antiemetik sesuai order
4.         Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
Menentukan data dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien

Ketidak efektifan bersihan jalan nafas, inveksi, peningkatan sekresi bronchial, penurunan kemempuandan kelemahan  karena batuk

Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspirasi: kepatenan jalan nafas; dan status pernapasan: ventilasi tidak terganggu
Pengisapan jalan nafas

pengaturan posisi

menejemen jalan nafas
Mengeluarkan secret dari jalan nafas dengan dengan memasukkan sebuah kateter penghisap kedalam jalan nafas orak atau trakea
Megubah posisi atau bagian tubuh klien secara sengaja untuk memfasilitasi kenyamanan fisiologi dan psikologi

Mengidentifikasi, menangani dan mencegah reaksi inflamasi di dalam jalan nafas
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.

Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif
1.    Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.    Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.    Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.





BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Para anggota tim perawatan kesehatan memerlukan informasi pasien yang akurat sebelum mereka dapat melaksanakan penilaian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Ketidak berhasilan dalam mengungkapkan status  HIV / AIDS dapat menggganggu kualitas perawatan pasien.
Anda dapat merawat penderita AIDS di rumah tanpa tertular penyakit ini, baik diri anda maupun anggota keluarga yang lain, dan tanpa menyebabkan infeksi lain pada penderita. Bagaimana? Dengan memastikan bahwa tidak seorangpun melakukan kontak dengan darah penderita, semen, atau sekresi vaginal. Meskipun virus yang menyebabkan AIDS dapat dideteksi melalui liur, urin, feses, mukosa, pernafasan, atau sekresi tubuh lainnya, tidak seorangpun tertular AIDS  dengan menyentuh cairan tubuh.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Sudoyo AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

2.      Depkes RI. 2005. Pedoman Monitoring dan Perawatan Pasien HIV/AIDS dengan Antiretro viral (ARV).

3.      Departemen Kesehatan RI. 2004. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Jakarta.

4.      Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta.

5.      McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunolo and Allergy Clin North Am 2004;24:399-423.

6.      Ginsburg CM. Stevens-Johnson syndrome in children. Pediatr Infect Dis. May-Jun 1982;1(3):155-8.[Medline].

7.      Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUIJakarta : 2000.

8.      Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku PatofisiologiJakarta: EGC.

9.      Djuanda, Adi. 2000. ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 3. Jakarta : FKUI.

10.  Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

11.  Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
12.  Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2Jakarta: EGC.




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »