halo sobat hari ini admin akan membagikan Artikel tentang Asuhan Keperawatan pada Klien Symembacandrome Johnson dan Teori Penyakitnya. Semoga dengan ini akan membaru para Pembaca, selamat .
BAB I
Kunjungi Juga Artikel Terbaru kami yaitu: Tranfusi Darah, Apusan Darah Tepi dan Biopsi Sumsum Tulang Belakang.
- Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya
disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat.
Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Prediksi :
mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3
tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada
yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter
anak Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang
bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar
1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai
gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit.
Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta
dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat
terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan
kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat
secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat
kasus Sindrom Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya
bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun,
dan penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari
obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson
sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini
bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan. ( Support, Edisi November
2008 )
Virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) menyebabkan penyakit AIDS (Acquired
immunodeficiency Syndrom), yaitu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
akan berakhir dengan kematian. Banyak orang dengan HIV positif tidak menyadari
bahwa mereka membawa virus tersebut dan akan menyebarkannya tanpa disadari
lewat kontak dengan darah serta cairan tubuh. Para pekerja kesehatan yang
bekerja dirumah sakit menghadapi resiko untuk terinfeksi, Perawat yang merasa
stres dan menanggung beban mental yang terlalu berat dapat mengalami distres
fisik serta mental dalam bentuk keluhan mudah lelah, sakit kepala, perubahan
pola makan serta tidur, perasaan tidak berdaya mudah tersinggung , apatis,
negativitas dan amarah.
Perawatan Penderita HIV / AIDS yang tersusun didalam
makalah ini diharapkan menjadi pengetahuan bagi Mahasiswa/ Mahasiswi AKPER PEMDA Kab. Subang sebagai gambaran
tindakan keperawatan yang dilakukan oleh Mahasiswa ketika praktek di lapangan
- Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Steven Johnson?
2. Apa etiologi dari Steven Johnson?
3. Apa tanda dan gejala Steven Johnson?
4. Apa faktor predisposisi Steven Johnson?
5. Bagaimana patofisiologi dari Steven Johnson?
6. Apa komplikasi dari Steven Johnson?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk Steven Johnson?
8. Bagaimana penatalaksanaan untuk sindrom Steven Johnson?
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit Steven Johnson?
- Tujuan
1. Mengetahui pengertian Steven Johnson?
2. Mengetahui etiologi dari Steven Johnson?
3. Mengetahui faktor predisposisi Steven Johnson?
4. Mengetahui tanda dan gejala Steven Johnson?
5. Mengetahui patofisiologi dari Steven Johnson?
6. Mengetahui komplikasi dari Steven Johnson?
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk Steven Johnson?
8. Mengetahui penatalaksanaan untuk Syndrom Steven Johnson?
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada Syndrom Steven Johnson?
SINDROM STEVEN JOHNSON
1.1 ANATOMI FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan
proteksi terhadap organ-organ yang terdapat dibawahnya dan membangun sebuah
barrier yang memisahkan organ-organ internal dengan lingkungan luar dan turut
berpartisipasi dalam banyak fungsi tubuh yang vital.
1.
Epidermis
Epidermis merupakan lapisan teratas pada
kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda: 400-600 μm untuk kulit
tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm untuk kulit tipis
(kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel,
epidermis juga tersusun atas lapisan:
a)
Melanosit (sel pigmen)
terdapat di bagian dasar epidermis. Melanosit menyintesis dan mengeluarkan
melanin sebagai respons terhadap rangsangan hormon hipofisis anterior, hormon
perangsang melanosit (melanocyte stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan
sel-sel khusus epidermis yang terutama terlibat dalam produksi pigmen melanin
yang mewarnai kulit dan rambut.
b)
Sel Langerhans, yaitu
sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang, yang merangsang sel Limfosit
T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T.
Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting dalam imunologi kulit.Sel-sel
imun yang disebut sel Langerhans terdapat di seluruh epidermis. Sel Langerhans
mengenali partikel asing atau mikroorganisme yang masuk ke kulit dan
membangkitkan suatu serangan imun. Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab
mengenal dan menyingkirkan sel-sel kulit displastik dan neoplastik. Sel
Langerhans secara fisik berhubungan dengan saraf-sarah simpatis , yang
mengisyaratkan adanya hubungan antara sistem saraf dan kemampuan kulit melawan
infeksi atau mencegah kanker kulit.
c)
Sel Merkel, yaitu sel
yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan berhubungan fungsi dengan
sistem neuroendokrin difus.
d)
Keratinosit, lapisan
eksternal kulit tersusun atas keratinosit (zat tanduk) dan lapisan ini akan
berganti setiap 3-4 minggu sekali. Keratinosit yang secara bersusun dari
lapisan paling luar hingga paling dalam sebagai berikut:
·
Stratum corneum :
lapisan paling luar yang terdiri dari sel-sel gepeng dan tidak berinti lagi,
sudah mati dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin.
·
Stratum lucidum : hanya
terdapat pada kulit yang tebal, memiliki sel-sel yang sejenis dengan sel-sel
yang berada di stratum corneum.
·
Stratum granulosum :
terdiri dari tiga sampai empat lapisan atau keratosit yang dipipihkan.
Keratosit ini berperan besar terhadap susunan keratin di dalam lapisan atau
epidermis.
·
Stratum
spinosum/spongiosum : terdiri atas beberapa lapis sel
yang membentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda, karena adanya proses
mitosis. Protoplasmannya jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti
terletak di tengah. Diantara spinosum terdapat sel langerhans yang mengaktifkan
sistem imun.
·
Stratum basale : lapisan
terdalam epidermis, 10-20% sel adalah melanosit dan melanin. Butiran melanin
berkumpul pada permukaan setiap keratinosit.
Pada daerah kulit terdapat juga kelenjar keringat,
yang terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan duet yaitu saluran seperti
pipa yang bermuara pada permukaan kulit yang membentuk pori-pori keringat.
a.
Kelenjar sebasea, berkaitan dengan folikel rambut, ductus
kelenjar sebasea akan mengosongkan sekret minyaknya ke dalam ruangan antara
folikel rambut dan batang rambut serta untuk setiap lembar rambut terdapat
sebuah kelenjar sebasea yang sekretnya akan melumasi rambut dan membuat rambut
menjadi lunak serta lentur.
b.
Kelenjar keringat,
ditemukan pada kulit sebagian besar permukaan tubuh. Kelenjar ini terutama
terdapat pada telapak tangan dan kaki. Hanya glans penis, bagian tepi bibir
(margo labium oris), telinga luar dan dasar kuku yang tidak mengandung kelenjar
keringat. Kelenjar keringat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
§
Kelenjar ekrin, ditemukan
pada semua daerah kulit. Saluran keluarnya bermuara langsung ke permukaan
kulit. Keringat dikeluarkan dari kelenjar ekrin sebagai reaksi terhadap
kenaikan suhu sekitarnya dan kenaikan suhu tubuh.
§
Kelenjar apokrin,
terdapat di daerah aksila, anus, skrotum dan labia mayora yang aktif pada masa
pubertas. Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh dan diuraikan oleh
bakteri sehingga menghasilkan bau yang khas.
2. Dermis
Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan
struktur pada kulit. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe,
serabut saraf, kelenjar keringat serta sebasea dan akar rambut. Lapisan ini
tersusun dari dua lapisan yaitu :
·
Lapisan papillaris yaitu
bagian yang menonjol ke epidermis merupakan jaringan fibrous tersusun longgar
yang berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
·
Lapisan retikularis
yaitu bagian di bawah lapisan papilaris yang menonjol ke arah subcutan, lebih
tebal dan banyak jaringan ikat.
Lapisan dermis juga ini mengandung sel-sel khusus yang membantu
mengatur suhu, melawan infeksi, air menyimpan dan suplai darah dan nutrisi ke
kulit. Sel-sel khusus dari dermis juga membantu dalam mendeteksi sensasi dan
memberikan kekuatan dan fleksibilitas untuk kulit.
3. Jaringan Subcutan/ Hipodermis
Merupakan lapisan kulit yang paling dalam. Lapisan ini terutama berupa
jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur
internal seperti otot dan tulang. Jaringan subcutan dan jumlah lemak yang
tertimbun merupakan faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh dan sebagai bantalan antara kulit dan struktur internal seperti otot
dan tulang. Sebagai mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan
panas.
·
Fungsi Kulit
1.
Perlindungan (proteksi)
Kulit melindungi tubuh dari segala pengaruh luar, misalnya bahan kimia,
mekanis, bakteriologis dan lingkungan sekitarnya yang senantiasa berubah-ubah.
2.
Sensibilitas/fungsi
sensori
Fungsi utama reseptor pada kulit adalah untuk mengindera suhu, rasa nyeri,
sentuhan yang ringan dan tekanan. Berbagai ujung saraf bertanggung jawab untuk
bereaksi terhadap setiap stimuli yang berbeda.
3.
Keseimbangan air
Stratum corneum memiliki kemampuan untuk menyerap
air dan dengan demikian akan mencegah kehilangan air serta elektrolit yang
berlebihan dari bagian internal tubuh dan mempertahankan kelembaban dalam
jaringan subkutan.
4.
Pengaturan suhu
(thermoregulator)
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan
panas sebagai hasil metabolisme makanan yang memproduksi energi. Panas ini akan
hilang terutama lewat kulit.
5.
Fungsi respons imun
Beberapa sel dermal (sel langerhans,
interleukin-1 yang memproduksi keratinosit dan sub kelompok limfosit T)
merupakan komponen penting dalam sistem imun.
1.2
Pengertian
Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata berupa eritema, vesikel atau bula, kelainan di mukosa dan
konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
1.3
Etiologi
a.
Infeksi
(virus, jamur, bakteri, parasit)
b.
Obat
(salisilat, sulfa, penisilin,etmbutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif)
c.
Makanan
(coklat)
d.
Fisik
(udara dingin, sinar matahari, sinar x)
e.
Lain-lain
(penyakit polagen, keganasan, kehamilan)
1.4
Patofisiologi
Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
obat, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, diduga
disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya kompleks antigen antibody yang membentuk mikro-presitipasi
sehingga terjadi akumulasi neutrophil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada target organ. Reaksi hipersensitifitas tipe
IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
peradangan (Corwin, 2001)
1.5
Manifestasi Klinis
a.
Gejala
prodromal berkisar 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, sakit saat menelan,
nyeri dada, muntal, pegal otot dan atralgia.
b.
Kulit
berupa ruam, eritema, papel, vesikel atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh
c.
Mukosa
berupa vesikel atau bula, erosi, pendarahan dan kusta berwarna merah.
Stomatitis ulserasif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama sindrom
steven Johnson
d.
Pada mata, bengkak
di kelopak mata atau mata merah, konjungtivitas kataralis, kelopak mata edema
dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan.
1.6
Komplikasi
a.
Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, syok.
b.
Oftalmologi
: Ulserasi kornea, kebutaan
c.
Gastroenterologi
: Esophangeal strcture
d.
Genitourinaria
: Nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile
scarring, stenosis vagina
e.
Pulmonari :
pneumonia, bronchopneumonia
f.
Kutaneus :
timbul jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
g.
Infeksi
sistemik, sepsis.
1.7
Insiden
SSJ diperkirakan 2-3% perjuta populasi setiap tahun di Eropa dan
Amerika Serikat.Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ
terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya, yang umumnya dewasa.
Angka kematian akibat SSJ bervariasi antara 5-12%. Walaupun SSJ mempengaruhi
orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan terkena sindrom ini.
1.8
Prognosis
Tindakan secara cepat dan tepat pada penyakit SSJ maka prognosis
dapat memuaskan. Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik dan penyembuhan
terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopeni
prognosis lebih buruk.Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan
berbagai jenis komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Kematian
biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
1.9
Tes Diagnostik
a.
Laboratorium
o Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
o Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi
b.
Histopatologi
o Infiltrasi sel ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis
superfisial
o Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
o Degenerasi hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal
o Nekrosis sel epidermal
o Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
c.
Imunologi
o Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superfisial dan pada
pembuluh darah yang mengalami kerusakan
o Komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau
dalam kontribusi
1.10
Penatalaksanaan
a.
Terapi
suportif
Merupakan
penatalaksaan standar pada klien SSJ. Klien yang umumnya dating dengan keadaan
umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan proten
yang sesuai parenteral. Pemberian cairan tergantunga dari luasnya kelainan
kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui NGT dilakukan sampai
mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut
dan salep gliserin.
b)
Antibiotik
Bagi
klien dengan infeksi diberikan antibiotic spektrum luas, biasanya dipergunakan
gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuscular dalam dua dosis. Pemberian antibiotic
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji esistensi kuman dari sediaan lesi
kulir dan darah.
c)
Obat
Kortikosteroid
DIberikan
secara parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1mg/kgBB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5mg/kgBB setiap 6jam, setelah itu diturunkan
berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednisone per oral.
d) Human
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Penggunaannya
dapat menghentikan progretivitas penyakit SSJ dengan dosis 1gr/kgBB selama 3
hari berturut-turut.
e) Perawatan kulit dan mata
Kulit
dibersihkan dengan larutan saling fisiologis atau dikompres dengan larutan
Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele
ocular dapat diberikan obat tetes mata dengan antriseptik.
f)
Faktor
penyebab harus segera diatasi atau dihindari
g)
Antihistamin
Bila
diperlukan terutama bila ada rasa gatal.
h)
Lesi mulut
diberi kenalog in orabase
i)
Tidak
diperbolehkan menggunakan steroid topical pada lesi kulit
2.1 Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
a) Keluhan utama
Adanya kerusakan atau
perubahan struktur kulit dan mukosa berupa kulit melepuh, mata merah, mukosa
mulut mengelupas
b)
Pemeriksaan Fisik
Lakukan
pengkajian fisik dengan penekanan khusus:
·
Adanya
eritema, yaitu kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang
teroksigenasi pada vaskularisasi dermal.
·
Vesikel,
bula dan purpura
·
Ekimosis,
yaitu kemerahan yang terlokalisir atau perubahan warna keunguan yang disebabkan
oleh ekstravasasi darah ke dalam jaringan kulit dan subkutan
·
Ptekie,
yaitu bercak kecil dan berbatas tajam pada lapisan epidermis superfisial
·
Lesi
sekunder, yaitu perubahan kulit yang terjadi karena perubahan pada lesi primer,
yang disebabkan oleh obat, involusi dan pemulihan.
·
Konjungtivitis,
ulkus korena, iritis dan iridoksiklitis
·
Kelainan
selaput lendir di mukosa mulut, genetalia, hidung dan anus
2. Diagnosa
Keperawatan
a) Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal
b) Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
c) Gangguan
rada nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
d) Gangguan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
e) Gangguan
persepsi sensori: kurangnya penglihatan berhubungan dengan konjungtivitis
3.
Intervensi dan Implementasi
a) Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal san epidermal
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Menunjukkan kulit dan
jarigan kulit yang utuh
|
Observasi kulit setiap
hari, catat turgor, sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi
|
Menentukan garis dasar
dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang
tepat
|
Gunakan pakaian tipis
dan alat tenun yang lembut
|
Menurunkan iritasi
garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara
agar meningkatkan proses pemyembuhan dan menurunkan risiko infeksi
|
|
Jaga kebersihan alat
tenun
|
Mencegah infeksi
|
|
Kolaborasi dengan tim
medis
|
Mencegah infeksi
berlanjut
|
b) Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Menunjukkan berat
badan stabil atau terjadi penambahan berat badan
|
Kaji kebiasaan makanan
yang disukai/tidak disukai
|
Memberikan klien/orang
terdekat rasa kontrol dan meningkatkan pertisipasi
|
Berikan makanan dalam
porsi sedikit tapi sering
|
Membantu mencegah
distensi gaster atau ketidaknyamanan
|
|
Hidangkan makanan
dalam keadaan hangat
|
Meningkatkan nafsu
makan
|
|
Kolaborasi dengan ahli
gizi
|
Mengetahui dan
mengontrol kalori dan vitamin untuk memenuhi kebutuhan metabolic,
mempertahankan BB serta mendorong regenerasi jaringan
|
c)
Gangguan
rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamsi pada kulit
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien melaporkan bahwa nyeri berkurang dan menunjukkan ekspresi
wajah atau postur tubuh rileks
|
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
|
Nyeri hamper selalu ada pada derajat beratnya keterlibatan
jaringan
|
Berikan tindakan kenyamanan dasar, contohnya pijatan pada area
yang sakit
|
Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelemahan
umum
|
|
Pantau tanda-tanda vital
|
Metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek
obat
|
|
Berikan analgesic sesuai indikasi
|
Menghilangkan rasa nyeri
|
d) Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien melaporkan
peningkatan toleransi aktivitas
|
Kaji respon individu
terhadap aktivitas
|
Mengetahui tingkat
kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
|
Bantu klien dalam
memenuhi aktivitas dengan keterbatasan yang dimiliki klien
|
Energi yang
dikeluarkan lebih optimal
|
|
Jelaskan pentingnya
pembatasan energi
|
Energi penting untuk
membantu proses metabolisme tubuh
|
|
Libatkan keluarga
dalam pemenuhan aktivitas klien
|
Klien mendapat
dukungan psikologis dari keluarga
|
e)
Gangguan
persepsi sensori: kurang penglihatan berhubungan dengan konjungtivitis
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kooperatif dalam tindakan serta menyadari hilangnya penglihatan
secara permanen
|
Kaji dan catat ketajaman penglihatan
|
Menentukan kemampuan visual
|
Kaji deskripsi fungsional apa yang dilihat/tidak
|
Memberi keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan
|
|
Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan penglihatan
|
Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan
|
|
Orientasikan terhadap lingkungan:
-Letakkan peralatan yang sering dipakai dalam jangkauan
penglihatan klien
-Berikan pencahayaan yang cukup
-Letakan peralatan di tempat yang tetap
-Berikan bahan bacaan dengan tulisan yang besar
-Hindari pencahayaan yang menyilaukan
-Gunakan jam yang ada bunyinya
|
Memberikan keamanan dan kenyamanan klien, memudahkan klien
melakukan aktivitas dan menggunakan
peralatan yang dibutuhkan
|
|
Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien
|
Meningkatkan rangsangan ketika kemampuan penglihatan menurun.
|
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
1.
AIDS atau Acquired
Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh oleh vurus yang disebut HIV. Dalam bahasa
Indonesia dapat disebut sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh yang didapat.
Acquired
: Didapat, Bukan penyakit keturunan
Immune
: Sistem kekebalan tubuh
Deficiency
: Kekurangan
Syndrome
: Kumpulan gejala-gejala penyakit
2.
Kerusakan progresif pada system kekebalan tubuh
menyebabkan ODHA (orang dengan HIV /AIDS) amat rentan dan mudah terjangkit
bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun
lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal (Depkes RI: 2005)
3.
AIDS adalah sekumpulan gejala yang
menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh
factor luar (bukan dibawa sejak lahir) (Sudoyo; 2006)
4.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat
dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan
gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi
infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang
terjadi ( Center for Disease Control
and Prevention )
B. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama
yaitu HTLV III, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang
ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
C. Transmisi Infeksi HIV
AIDS
Terdapat lima fase :
- Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
- Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
- Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
- Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
- AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
D. Penularan
HIV
- Seks bebas dengan penderita yang positif mengidap HIV. Maka bagi para pelaku seks bebas biasanya akan menggunakan salah satu alat kontrasepsi yaitu kondom. Maka ketika menteri kesehatan baru Indonesia yang dilantik menggantikan Endang Rahayu Sedyaningsih pada tanggal 14 Juni 2012 lalu ketika mengkampanyekan pemakaian kondom ini menuai kontroversial. Karena banyak juga masyarakat yang menilai bahwa kampanye pemakai kondom kontroversial tersebut akan bisa membuat persepsi bahwa hal tersebut menghalalkan akan adanya seks bebas pula.
- Mendapatkan transfusi darah yang tercemar akan virus HIV.
- Penggunaan jarum suntik yang bergantian, penggunaan jarum tindik atau pun pembuatan tatto yang telah tercemar virus HIV. Dalam hal penggunaan jarum suntik, maka para pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik sebagai medianya adalah termasuk dalam golongan orang yang mempunyai resiko tinggi tertular penyakit AIDS ini.
- Penularan dari ibu hamil yang positif HIV AIDS kepada janin yang dikandungnya. Sehingga bila bayi tersebut lahir maka sang bayi akan bisa mengidap pula penyakit yang serupa.
E. Klasifikasi
1.
Klasifikasi menurut CDC (Center of Disease
Control and Prevention)
CDC
mengklasifikasikan HIV/AIDS berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi
kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi
kekebaln tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4. Sistem ini didasarkan pada tiga
kisaran CD4 dan tiga kategori klinis yaitu :
a. Kategori 1 : < 500 Gejala kronik atau intermiten
b. Kategori 2 : < 200 Gejala semakin parah dan persisten
c. Kategori 3 : < 200 Meningkatnya probabilitas infeksi
a. Kategori 1 : < 500 Gejala kronik atau intermiten
b. Kategori 2 : < 200 Gejala semakin parah dan persisten
c. Kategori 3 : < 200 Meningkatnya probabilitas infeksi
Klasifikasi
CDC juga bisa digunakan untuk surveilans penyakit yang dikategorikan AIDS.
- Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja
dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan
tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C
1)
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
yang simptomatik.
2)
Limpanodenopati generalisata yang persisten
(PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty)
3)
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
- Kategori Klinis B
Contoh-contoh
keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1)
Angiomatosis Baksilaris
2)
Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal
(peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi)
3)
Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma
serviks in situ )
4)
Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5 oC )
atau diare lebih dari 1 bulan.
5)
Leukoplakia yang berambut
6)
Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang
bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
7)
Idiopatik Trombositopenik Purpura
8)
Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan
abses Tubo Varii
- Kategori Klinis C
Contoh
keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1)
Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru,
esophagus
2)
Kanker serviks inpasif
3)
Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4)
Kriptokokosis ekstrapulmoner
5)
Kriptosporidosis internal kronis
6)
Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau
kelenjar limfe )
7)
Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan
penglihatan )
8)
Enselopathy berhubungan dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
9)
Herpes simpleks (ulkus
kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10) Histoplamosis
diseminata / ekstrapulmoner )
11) Isoproasis
intestinal yang kronis
12) Sarkoma
Kaposi
13) Limpoma
Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14) Kompleks
mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
15) M.Tubercolusis
pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
16) Mycobacterium,
spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
17) Pneumonia
Pneumocystic Cranii
18) Pneumonia
Rekuren
19) Leukoenselophaty
multifokal progresiva
20) Septikemia
salmonella yang rekuren
21) Toksoplamosis
otak
22) Sindrom
pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
2.
Klasifikasi klinis menurut WHO
i.
Gejala Mayor
1)
Penurunan berat badan lebih dari 10% selama 1 bulan
2)
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
3)
Diare kronis
4)
Tuberkulosis
ii.
Gejala
Minor
1)
Kandidiasis orofaringeal
2)
Batuk menetap lebih dari 1 bulan
3)
Kelemahan tubuh
4)
Berkeringat pada malam hari
5)
Hilangnya nafsu makan
6)
Infeksi kulit
7)
Limfadenopati generalisata
8)
Herpes zoster
9)
Infeksi Herpes simplex kronis
10)
Pneumonia
11)
Sarkoma Kopasi
3.
Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel
imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan
terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein
perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada
saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya
kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler
makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag
dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama
bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar
1000 sel/ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3
tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4
mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit
baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang
parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah
200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau
dimensia AIDS.
4.
Manifestasi klinik
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda
penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang
lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase
supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat
dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit,
limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS)
akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic
Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi
lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial,
atipikal
1.
Infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Akut
gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam
berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher,
radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.
2.
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
tanpa gejala
Diketahui
oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan
diperoleh hasil positif.
3.
Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan
menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh
selama lebih dari 3 bulan.
5.
Komplikasi
1. Oral
Lesi
Karena
kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a.
Kompleks dimensia AIDS karena serangan
langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi
social.
b.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik,
hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis.
Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
c.
Infark serebral kornea sifilis
meningovaskuler,hipotensi sistemik.
d.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh
serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
3.
Gastrointestinal
a. Diare
karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma
Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan
dehidrasi.
b. Hepatitis
karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
c. Penyakit
Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal,
gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Infeksi
karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus,
dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal
nafas.
5. Dermatologik
Lesi
kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a.
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva
berefek kebutaan
b.
Pendengaran : otitis eksternal akut dan
otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri.
6.
Tes Diagnostik
1)
Tes untuk
diagnosa infeksi HIV
a. Tes Laboratorium
-
Serologis
-
Budaya
-
Neurologis
-
Tes
lainnya
b. Tes antibodi
- ELISA : Tes
Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi
antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency
Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa
seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
disebut seropositif.
-
Western
blot : Mengenali antibody Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency
Virus (HIV)
-
P24 antigen
test : Penentuan langsung ada dan
aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan
penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24,
pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi
kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat
rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari
menjadi AIDS.
2)
Tes untuk
deteksi gangguan system imun.
Berapa kadar normalnya
a.
Hematokrit.
b.
LED
c.
CD4
limfosit
d.
Rasio
CD4/CD limfosit
e.
Serum
mikroglobulin B2
f.
Hemoglobulin
7.
Penatalaksanaan Medis
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan
pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1.
Melakukan abstinensi seks / melakukan
hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2.
Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan
setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3.
Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan
orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4.
Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan
sebagainya.
5.
Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
1.
Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan
infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2.
Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT
yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT
tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < >3.
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
3.
Terapi Antiviral Baru
Beberapa
antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat
ini adalah:
a.
Didanosine
b.
Ribavirin
c.
Diedoxycytidine
d.
Recombinant CD 4 dapat larut
4.
Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya
rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
5.
Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat
terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan
obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
6. Menghindari
infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat
reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN
ii.
Pengkajian
1.
Riwayat Penyakit
Jenis
infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur
kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan
pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada
lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes
meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis,
keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan
penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a.
Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi
radiasi, defisiensi
nutrisi, penuaan, aplasia
timik, limpoma, kortikosteroid, globulin
anti limfosit,
disfungsi
timik congenital.
b.
Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik
leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital, protein
– liosing enteropati (peradangan usus)
2.
Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan
(Sujektif)
a.
Aktifitas / Istirahat
Gejala
: Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
Tanda
: Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas (Perubahan
TD, frekuensi Jantun dan pernafasan).
b.
Sirkulasi
Gejala
: Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
Tanda
: Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis,
perpanjangan pengisian kapiler.
c.
Integritas dan Ego
Gejala
: Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari
doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
Tanda
: Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d.
Eliminasi
Gejala
: Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal,
nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda
: Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri
tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan
jumlah, warna, dan
karakteristik urine.
e.
Makanan / Cairan
Gejala
: Anoreksia, mual muntah, disfagia
Tanda
: Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk,
edema
f.
Hygiene
Gejala
: Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda
: Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g.
Neurosensoro
Gejala
: Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,
kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.
Tanda
: Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis, kejang.
h.
Nyeri / Kenyamanan
Gejala
: Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri
dada pleuritis.
Tanda
: Bengkak sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan
rentan gerak,
pincang.
i.
Pernafasan
Gejala
: ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
Tanda
: Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j.
Keamanan
Gejala
: Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi
imun, demam berulang,berkeringat malam.
Tanda
: Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran
kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
k.
Seksualitas
Gejala
: Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan
pil pencegah kehamilan.
Tanda
: Kehamilan,
herpes
genetalia
l.
Interaksi Sosial
Gejala
: Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya
trauma AIDS
Tanda
: Perubahan interaksi
a.
Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala
: Kegagalan dalam perawatan, prilaku seks beresiko tinggi, penyalahgunaan
obat-obatan IV, merokok, alkoholik.
3.
Pemeriksaan Diagnostik
a.
Tes Laboratorium
Telah
dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian.
Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya
terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1)
Serologis
a)
Tes antibody serum
Skrining
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan
merupakan diagnosa
b)
Tes blot western
Mengkonfirmasi
diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
c)
Sel T limfosit
Penurunan
jumlah total
d)
Sel T4 helper
Indikator
system imun (jumlah <200>
e)
T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio
terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke
T4 ) mengindikasikan supresi imun.
f)
P24 (Protein pembungkus Human
ImmunodeficiencyVirus (HIV)
Peningkatan
nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
g)
Kadar Ig
Meningkat,
terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
h)
Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi
DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
i)
Tes PHS
Pembungkus
hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
2)
Budaya
Histologis,
pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan
sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur,
bakteri, viral.
3)
Neurologis
EEG,
MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
4)
Tes Lainnya
a)
Sinar X dada
Menyatakan
perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi
lain
b)
Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi
awal pneumonia interstisial
c)
Skan Gallium
Ambilan
difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d)
Biopsis
Diagnosa
lain dari sarcoma Kaposi
e)
Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan
dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
b.
Tes Antibodi
Jika
seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan
bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan.
Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan
hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi
antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining
produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada
tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji –
kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma.
Tes tersebut, yaitu :
b)
Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay (
ELISA)
Mengidentifikasi
antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency
Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa
seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
disebut seropositif.
c)
Western Blot Assay
Mengenali
antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
d)
Indirect Immunoflouresence
Pengganti
pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
e)
Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi
protein dari pada antibody.
c.
Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan
langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak
perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24,
pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi
kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat
rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari
menjadi AIDS.
Pemeriksaan
ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus.
Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma
kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus
(viral burden)
AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem
kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan
runtuhnya/
hancurnya
sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali
terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal
tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita,
melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan
orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah
atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk
melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki
aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui
anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga
dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum
suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil
ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak
sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gels bekas dipakai penderita,
handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.
Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya
tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang
tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan
sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem
kekebalan tubuh.
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan
parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala
AIDS.
a.
Diagnosa Keperawatan
2.
Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
3.
Resiko
tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
4.
Intolerans
aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
5.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
6.
Diare
berhubungan dengan infeksi GI
7.
Tidak
efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang
dicintai.
i. Intervensi
Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
|
Perencanaan Keperawatan
|
||
Tujuan dan criteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
Resiko infeksi yang berhubungan dengan
penekanan sistem imun, kurangnya pengetahuan untuk menghindarai pajanan
patogen, pertahanan tubuh lapis kedua tidak memadai
|
Faktor resiko infeksi akan hilang
dibuktikan dengan
Pengendalian resiko kominitas; penyakit menular; penyakit imun,
keparahan infeksi; pengendalian resiko: penyakit menular seksual dan peneyembuhan luka
|
1.
Monitor
tanda-tanda infeksi baru.
2.
gunakan teknik
aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.
3.
Anjurkan pasien
metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.
Kumpulkan
spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.
Atur pemberian
antiinfeksi sesuai order
|
Untuk pengobatan
dini
Mencegah pasien
terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.
Mencegah
bertambahnya infeksi
Meyakinkan
diagnosis akurat dan pengobatan
Mempertahankan
kadar darah yang terapeutik
|
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diare,
menifestasikulit akibat infeksi HIV
|
Kieln dapat mempertahankan integritas kulit
|
Perawatan luka/ kulit secara rutin
seperti : ubah dan atur posisi klien secara periodic
|
Mencegah komplikasi luka dan mienigkatkan
penyembuhan luka
Meminimalakan
oenekanan pada tubuh
|
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
|
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas
dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
|
1.
Monitor respon
fisiologis terhadap aktivitas
2.
Berikan bantuan
perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.
Jadwalkan
perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
|
Respon bervariasi
dari hari ke hari
Mengurangi
kebutuhan energi
Ekstra istirahat
perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
|
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi
zat gizi.
|
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol,
pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB
mendekati seperti sebelum sakit.
|
1.
Monitor kemampuan
mengunyah dan menelan.
2.
Monitor BB,
intake dan ouput
3.
Atur antiemetik
sesuai order
4.
Rencanakan diet
dengan pasien dan orang penting lainnya.
|
Intake menurun
dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
Menentukan data
dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa
makanan sesuai dengan keinginan pasien
|
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas, inveksi, peningkatan
sekresi bronchial, penurunan kemempuandan kelemahan karena batuk
|
Menunjukan pembersihan jalan nafas yang
efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspirasi: kepatenan jalan nafas; dan
status pernapasan: ventilasi tidak terganggu
|
Pengisapan jalan nafas
pengaturan posisi
menejemen
jalan nafas
|
Mengeluarkan secret dari jalan nafas dengan
dengan memasukkan sebuah kateter penghisap kedalam jalan nafas orak atau
trakea
Megubah posisi atau bagian tubuh klien
secara sengaja untuk memfasilitasi kenyamanan fisiologi dan psikologi
Mengidentifikasi,
menangani dan mencegah reaksi inflamasi di dalam jalan nafas
|
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
|
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem
dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan
keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif
|
1.
Kaji koping
keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.
Biarkan keluarga
mengungkapkana perasaan secara verbal
3.
Ajarkan kepada
keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
|
Memulai suatu
hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
Mereka tak
menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
Menghilangkan
kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para anggota tim perawatan kesehatan memerlukan informasi
pasien yang akurat sebelum mereka dapat melaksanakan penilaian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Ketidak berhasilan dalam mengungkapkan
status HIV / AIDS dapat menggganggu
kualitas perawatan pasien.
Anda dapat merawat
penderita AIDS di rumah tanpa tertular penyakit ini, baik diri anda maupun
anggota keluarga yang lain, dan tanpa menyebabkan infeksi lain pada penderita.
Bagaimana? Dengan memastikan bahwa tidak seorangpun melakukan kontak dengan
darah penderita, semen, atau sekresi vaginal. Meskipun virus yang menyebabkan
AIDS dapat dideteksi melalui liur, urin, feses, mukosa, pernafasan, atau
sekresi tubuh lainnya, tidak seorangpun tertular AIDS dengan menyentuh cairan tubuh.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Sudoyo
AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2.
Depkes
RI. 2005. Pedoman Monitoring dan Perawatan Pasien HIV/AIDS dengan Antiretro
viral (ARV).
3.
Departemen
Kesehatan RI. 2004. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Jakarta.
4.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa
: I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta.
5.
McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug
reactions. Immunolo and Allergy Clin North Am 2004;24:399-423.
6.
Ginsburg CM. Stevens-Johnson syndrome in
children. Pediatr Infect Dis. May-Jun
1982;1(3):155-8.[Medline].
7.
Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek
S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius.
FKUIJakarta : 2000.
9.
Djuanda, Adi. 2000. ilmu
penyakit kulit dan kelamin edisi 3. Jakarta : FKUI.
10. Doenges.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
11. Hamzah,
Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
12. Price
dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.