BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani Epilembanmein yang berarti serangan.
Masyarakat percaya bahasa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar
belakang adanya mitos dan rasa taku terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai
sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam
kehidpuan normal. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum
Masehi. Hipokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala
penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh
adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat
terjadi pada seiap orang di seluruh dunia.
Epilepsi
merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Penelitian
epidemiologis tentang epilepsi di indonesia belum pernah dilakukan, karena itu
tidak dapat dipastikan berapa jumlah penderita yang ada di indonesia. Dari
penelitian di Roecheter, Minnesota, amerika serikat pada tahun 1965, didapatkan
bahwa prevalensi epilepsi adalah 5,7 per 1000 penduduk.
Epilepsi merupakan masalah penting
baik di pandang dari sudut ilmu kedokteran ataupun sosial. Di indonesia
epilepsi juga sudah lama dikenal oleh masyarakat dengan nama “ayan”, “sawan”,
“celeng”, “solpot”, Epilepsi juga dikenali sebagai “sawan babi”, “cho chin” dalam
bahasa Mandarin ataupun “kaka valipu” dalam bahasa Tamil. Namun
penanggulangannya masih belum memuaskan. Salah satu penyebabnya ialah bahwa
pengetahuan tentang epilepsi dan pengobatannya masih kurang. Masyarakat
menganggap epilepsi sebagai akibat kekuatan gaib, kutukan atau kesurupan,
sehingga banyak dari penderita epilepsi tidak mendapat perhatian selayaknya dan
tidak di bawa ke dokter. Oleh karena itu kami sebagai Mahasiswa keperawatan
tertarik untuk membahas tentang kasus epilepsi ini
1.2 Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dari makalah ini adalah :
1.
Epilepsi
A.
Konsep Dasar
Medis
1.
Apa pengertian
dari epilepsi?
2.
Anatomi dan
fisiologi sistem neurologi?
3.
Apa etiologi
dari epilepsi?
4.
Bagaimana
patofisiologi dari epilepsi?
5.
Bagaimana manifestasi
epilepsi?
6.
Apa komplikasi
dari epilepsi?
7.
Bagaimana
penatalaksanaan dari epilepi?
8.
Bagaimana tes
diagnostik dari epilepi?
B.
Konsep Dasar
Keperawatan
1.
Bagaimana
pengkajian dari epilepsi?
2.
Bagaimana diagnosa
keperawatan dari epilepsi?
3.
Bagaimana rencana
keperawatan dari epilepsi?
4.
Bagaimana
evaluasi dari epilepsi?
1.3 Tujuan
Tujuan
umum dalam makalah ini:
Untuk
mengetahui secara umum mengenaik kelainan pada sistem neurologi
Tujuan khusus dalam
makalah ini:
1.
Gastritis
A.
Konsep Dasar
Medis
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari epilepsi
2.
Untuk mengetahui
anatomi dan fisiologi sistem neurologi
3.
Untuk mengetahui
etiologi dari epilepsi
4.
Untuk mengetahui
patofisiologi dari epilepsi
5.
Untuk mengetahui
tanda dan gejala dari epilepsi
6.
Untuk mengetahui
komplikasi dari epilepsi
7.
Untuk mengetahui
penatalaksanaan dari epilepsi
8.
Untuk mengetahui
tes diagnostik dari epilepsi
B.
Konsep Dasar
Keperawatan
1.
Untuk mengetahui
pengkajian dari epilepsi
2.
Untuk mengetahui
diagnosa keperawatan dari epilepsi
3.
Untuk mengetahui
rencana keperawatan dari epilepsi
4.
Untuk mengetahui
evaluasi dari epilepsi
1.4 Metode
Metode penulisan
makalah ini adalah study pustaka dari berbagai sumber. Sistematika penulisan
makalah ini terdiri dari 3 bab. Bab pertama berisikan pendahuluan yaitu latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan. Bab
kedua berisikan tentang landasan teori yang berisikan tentang anatomi sistem
neurologi, pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala dan
penatalaksaan epilepsi. Bab terakhir adalah
penutup yang berisikan tentang simpulan dan saran.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Konsep
Dasar Medis
A. DEFINISI
Epilepsi adalah setiap kelompok
sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara yang bersifat paroksimal
yang dimanifestasikan berupa gangguan atau penurunan kesadaran yang episodic,
fenomena motoric yang abnormal, gangguan psikis, sensorik, dan system otonom ;
gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik otak (Kumala et al, 1998).
Epilepsi merupakan gangguan
serebral kronik dengan berbagai macam etiologi yang ditandai oleh timbulnya
serangan paroksimal yang berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
serebral secara berlebihan.
Epilepsi
adalah gejala kompleks dan banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikkan oleh kejang yang berulang. ( Smeltzer, 2002 ; 2003 )
Epilepsi
adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala – gejala yang datang
dalam serangan berulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel
otak yang bersifat reverseble dengan berbagai etiologi. ( Mansjoer, 2000 : 27 )
Epilepsi
adalah kelainan kejang akibat pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel
saraf kontek serebral yang ditandai dengan serangan tiba – tiba terjadi
gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, gangguan fenomena sensori.
( Dengoes, 2000 : 259 )
B. ANATOMI
DAN FISISOLOGI
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks
dan bersabungan serta terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf
, lingkungan internal dan eksternal diatur degan kemampuan khusus seperti
iritabilitas, sensitivitas terhadap stimulus dan konduktivitas, atau kemampuan
untuk menstransmisi suatu respon terhadap stimulus.
1. Jaringan
Saraf
Neuron
merupakan jaringan dasar sistem saraf. Betuk yang paling besar adalah badan
sel. Sel-sel saraf membentuk badan abu-abu (grey matter) otak dan medula
spinalis.
a. Dendrit
merupakan percabangan pendek tempat impuls saraf masuk ke dalam sel.
b. Akson
(silindris aksis) merupakan serat tunggal tempat impuls keluar dari sel.
c. Neuron
multipolar merupakan neuron yang memiliki banyak cabang, muncul dari badan sel.
d. Neuron
unipolar merupakan neuron yang memiliki satu tonjolan dn bercabang menjadi dua,
satu menuju ke sistem saraf pusat dan yang lain menghantarkan impuls dari organ
ke sel.
e. Neuron
bipolar memiliki dua tonjolan di setiap ujung sel, salah satunya ialah dendrit
yang membawa impuls ke sel dan akson membawa impuls dari sel.
Akson dan beberapa dendrit
dikelilingi oleh lapisan lemak tipis yang tersusun atas mielin yang terdapat
didalam lapisan luar jaringan penyambung yang disebut neurilema. Lapisan mielin
tertekan pada bagisan interval dan disini neurilema masuk ke dalam serabut
saraf. Bagian yang menyempit disebut nodus ranvier. Lapisan mielin berfungsi melindungi serabut
saraf dari tekanan dan cedera.
Sinaps merupakan titik pertemuan
satu neuron dengan neuron berikutnya. Fibril yang membentuk akson mempunyai
ujung tipis dan melebar, memungkinkan hantaran impuls saraf pada satu arah
saja.
Impuls saraf juga di hantarkan
hanya dalam satu arah kedalam neuron melalui badan sel atau dendrit keluar
melalui akson. Pada sinaps, ada jarak pendek yang memungkinkan pesan kimia
dilepaskan untuk mengisi celah diantara pertemun dua neuron sehingga impuls
dapat melewati neuron berikutnya.
2. Potensial
Aksi
Pada
distribusi elektrolit menembus membran sel terdapat perbedaan potensial antar
membran. Perbedaan ini sekitar70mV. Sel saraf dan otot mengalami potensial aksi
untuk mmbangkitkan dan menghantarkan impuls listrik.
Saat
potensial aksi bangkit pada suatu sel saraf, melalui datangnya impuls listrik
dari sel lain, ion Na+ masuk ke dalam sel dan membalik perbedaan
potensial melewati membran ke potensial yang sedikit positif, poses tersebut
disebut depolarisasi. Setelah depolarisasi pada tingkatan tertentu, dengan
masuknya ion Na+ ke dalam
sel, yang disebut ambang potensial, potensial aksi dibangkitkan secara penuh,
ukuran potensial aksi berbeda-beda di antara sel-sel saraf dan luas stimulasi
pada sel saraf tergantung pada jumlah sel saraf yang tertimulasi. Selanjutnya,
sel saraf menampilkan potensial aksi pada periode fefratori, sekitar 0,5
milidetik.
3. Sistem
Saraf Pusat
Otak
Otak
merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari
semua alat tubuh. Bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga
tengkorak (kranium). Otak dibagi menjadi 3 bagian, diantaranya :
1) Otak
Besar ( cerebrum )
Otak besar merupakan pusat
pengendali kegiatan tubuh yang disadari. Yaitu
Berpikir, berbicara, melihat, bergerak, mengingat, dan mendengar
termasuk kegitan tubuh yang disadari. Otak besar dibagi menjadi dua belahan,
yaitu belahan kanan dan belahan kiri. Masing-masing belahan pada otak tersebut
disebut hemister. Otak besar belahan kanan mengatur dan mengendalikan kegiatan
tubuh sebelah kiri, sedangkan otak belahan kiri mengatur dan mengendalikan
bagian tubuh sebelah kanan.
2) Otak
tengah ( Mesensefalon )
Otak tengah merupakan pebghubung
antara otak depan dan otak belakang,
bagian otak tengah yang berkembang adalah lobus optikus yang berfungsi sebagai
pusat refleksi pupil mata, pengatur gerak bola mata, dan refleksi akomodasi mata.
3) Otak
kecil ( cerebellum )
Otak kecil terletak di bagian
belakang otak besar, tepatnya di bawah otak besar. Otak kecil terdiri atas dua
lapisan, yaitu lapisan luar berwarna kelabu dan lapisan dalam berwarna putih.
Otak kecil dibagi menjadi dua bagian, yaitu belahan kiri dan belahan kanan yang
dihubungkan oleh jembatan varol. Otak
kecil berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tubuh dan mengkoordinasikan kerja
otot ketika seseorang akan melakukan kegiatan. Dan pusat keseimbangan tubuh.
Jaringan otak
dilapisi oleh 3 lapisan diantaranya adalah lapisan duramater, araknoid, dan
piamater.
a. Duramater : Lapisan
luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang bersifat liat, tebal,
tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
b. Arachnoid : Membran
bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna putih karena tidak dialiri
darah, terdapat pleksus khoroid yang memproduksi cairan serebrospinal (CSS)
terdapat villi yang mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem
(akibat trauma, aneurisma, stroke).
c. Piamater : Membran
paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang menutupi otak dan
meluas ke setiap lapisan otak.
Otak dibagi menjadi 4 lobus diantaranya
adalah;
a. Lobus
frontalis
Merupakan area motorik
yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan volunter.
b. Lobus
Parietalis
Mempunyai peranan utama
pada kegiatan memproses dan mengintergrasi informasi sensorik yang lebih tinggi
tingkatnya. Selain itu, lobus parietalis bekerja sebagai area asosiasi sekunder
untuk mengintepretasikan rangsangan yang dating.
c. Lobus
oksipitalis
Mengandung korteks penglihatan
primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.
d. Lobus
temporalis
Merupakan area sensorik
reseptif untuk impuls pendengaran. Korteks pendengaran primer berfungsi sebagai
penerima suara. Korteks asosiasi pendengaran penting untuk memahami bahasa ucap,
dan lesi daerah ini (terutama pada sisi dominan) dapat mengakibatkan penurunan hebat
kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa serta sulit mengulang kata-kata.
Aktivitas Listrik Otak
Aktivitas yang bersamaan dari
jutaan sel otak menyebabkan keluaran listrik yang dapat di catat dengen electro
encefalografi (EEG). Irama alfa adalah pola norml dari gelombang kecil yang
agak tidak teratur terjadi pada kecepatan 8-13 detik. Hal ini terjadi pada masa
kanak-kanak dan menetap secara konstan untuk setiap individu. Kedua hempifer
serebral menghasilkan gelombang yang sama.
Gerak Refleks
Gerak refleks ialah hasil stimulasi
sel motorik oleh stimulus yang dibawa oleh neuron aferen dari jaringan. Dengan
demikian, stimulus yang datang, selain menghasilkan sensasi, juga menimbulkan
gerakan. Sensasi di dapat bila stimulus sampai di pusat sensori otak. Di lain
pihak, korda dan otak akan menstimulasi sel-sel motorik untuk bereaksi gerak
refleks. Setiap saat stimulus sensori menuju ke medula dan otak dari jaringan.
Apabila stimulus menstimulasi sel-sel motorik, maka timbul gerak refleks,
misalnya: bila kita menyentuh sesuatu yang panas, maka dengan cepat kita akan
menarik tangan kita, ketukan di lutut akan menimbulkan kontraksi otot kuadrisep
dan mempproduksi ‘knee jerk’. Stimulus sensori dibawa ke dalam medula oleh
serabut sensori, di transmisi oleh serabut penghubung ke sel-sel motorik pada
kornu anterior dan di hantarkan keluar oleh serabut ke otot.
Gerakan yang mula-mula volunter menjadi
refleks sensasi, misalnya, berdiri merupakan gerakan volunter yang di lakukan
di bawah kehendak. Apabila kita belajar mengatur keseimbangan di kaki, kita
belajar merasakan keseimbangan lewat sensasi kulit telapak kaki kita dan dengan
bantuan otot sendi dan organ keseimbangan, kita dapat berdiri eimbang. Secara
umum jari dan tangan kita dapat merasakan jarum wol, kecuali jika kita
mengalami kerusakan. Gerak refleks muncul dalam tingkatan tertentu sistem
saraf.
a.
Spinal refleks, isalnya : knee jerk
b.
Refleks yang ,uncul di dasar otak,
isalnya : batuk, bersin, muntah (serebelum)
c.
Refleks yang muncul di otak dan
menggunakan aosiasi serat-serat otak.
Neurotransmitter
1. Acetylcholine
Asetilkolin
merupakan substansi transmitter yang disintesis diujung presinap dari koenzim
asetil A dan kolin dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase. Kemudian
substansi ini dibawa ke dalam gelembung spesifiknya. Ketika kemudian gelembung
melepaskan asetilkolin ke dalam celah sinap, asetilkolin dengan cepat memecah
kembali asetat dan kolin dengan bantuan enzim kolinesterase, yang berikatan
dengan retikulum proteoglikan dan mengisi ruang celah sinap. Kemudian gelembung
mengalami daur ulang dan kolin juga secara aktif dibawa kembali ke dalam ujung
sinap untuk digunakan kembali bagi keperluan sintesis asetilkolin baru.
Asetilkolin
disekresi oleh neuron-neuron yang terdapat di sebagian besar daerah otak, namun
khususnya oleh sel-sel piramid besar korteks motorik, oleh beberapa neuron
dalam ganglia basalis, neuron motorik yang menginervasi otot rangka, neuron
preganglion sistem saraf otonom,, neuron postganglion sistem saraf simpatik,.
Pada sebagian besar contoh di atas asetilkolin memiliki efek eksitasi, namun
asetilkolin juga telah diketahui memilik efek inhibisi pada beberapa ujung
saraf parasimpatik perifer, misalnya inhibisi jantung oleh nervus vagus.
2.
GABA (γ-Aminobutyric acid)
γ-Aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibisi utama pada sistem saraf pusat. GABA berperan penting dalam mengatur exitability neuron melalui sistem
saraf. Pada manusia, GABA juga
bertanggung jawab langsung pada pengaturan tonus otot.
GABA dibentuk dari dekarboksilasi glutamat yang dikatalis oleh glutamate
decarboxylase (GAD).GAD umumnya terdapat dalam akhiran saraf. Aktivitas GAD
membutuhkan pyridoxal phosphate (PLP) sebagai kofaktor. PLP dibentuk dari vitamin B6
(pyridoxine, pyridoxal, and pyridoxamine) dengan bantuan pyridoxal kinase.
Pyridoxal kinase sendiri membutuhkan zinc untuk aktivasi. Kekurangan pyridoxal
kinase atau zinc dapat menyebabkan kejang, seperti pada pasien
preeklamsi.Reseptor GABA dibagi dalam dua jenis: GABAA dan GABAB.
Reseptor GABAA membuka saluran florida dan diantagonis oleh
pikrotoksin dan bikukulin, yang keduanya dapat mnimbulkan konvulsi umum.
Reseptor GABAB yang secara selektif dapat diaktifkan oleh obat
anti spastik baklofen, tergabung dalam saluran kalium dalam membran
pascasinaps. Pada sebagian besar daerah otak IPSP terdiri atas komponen lambat
dan cepat. Bukti-bukti menunjukkan bahwa GABA adalah transmiter penghambat yang
memperantarai kedua componen tersebut. IPSP cepat dihambat oleh antagonis GABAA,
sedangkan IPSP lambat oleh antagonis GABAB. Penelitian
imunohistokimia menunjukkan bahwa sebagian besar dari saraf sirkuit local
mensintesis GABA. Satu kelompok khusus saraf dari sirkuit local terdapat di
tanduk dorsal sumsum tulang belakang juga menghasilkan GABA. Saraf-saraf ini
membentuk sinaps aksoaksonik dengan terminal saraf sensoris primer dan bekerja
untuk inhibisi presinaps.
Pada vertebrata, GABA berperan dalam inhibisi sinaps pada otak melalui
pengikatan terhadap reseptor spesifik transmembran dalammembran plasma pada
proses pre dan post sinaps. Pengikatan ini menyebabkan terbukanya saluran ion
sehingga ion klorida yang bermuatan negatif masuk kedalam sel dan ion kalium
yang bermuatan positif keluar dari sel. Akibatnya terjadi perubahan potensial
transmembran, yang biasanya menyebabkan hiperpolarisasi. Reseptor GABAA merupakan
reseptor inotropik yang merupakan saluran ion itu sendiri, sedangkan Reseptor
GABAB merupakan reseptor metabotropik yang membuka saluran ion
melalui perantara G protein (G
protein-coupled reseptor)
Neuron-neuron yang menghasilkanyang menghasilkan GABA
disebut neuron GABAergic. Sel medium spiny merupakan salahsatu contoh sel
GABAergic
C. ETIOLOGI
Penyebab
spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1. Kelainan
yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan,
obat-obata tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami inffeksi, minum
alcohol, atau mengalami cedera
2. Kelainan
yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan
3. Cedera
kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. Tumor
otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak
5. Penyumbatan
pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. Radang
atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. Penyakit
keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang
8. Kecenderungan
timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang
serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
Berdasarkan penyebab epilepi dibagi menjadi dua tipe
yaitu epilepsi primer dan epilepsi sekunder. Epilepsi yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti. Epilepsi primer juga disebut dengan idiopati epilepsi.
1. Epilepsi
Primer (Idiopatik)
Epilepsi
primer hingga kini tidak diketahui penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada
jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan ata ugangguan keseimbangan zat
kimia dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada
kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui, sering terjadi pada:
a. Trauma
lahir Asphyxia neonatorum
b. Cedera
kepala, infeksi sisstem saraf
c. Keracunan
CO, intoksikasi pbat/alcohol
d. Demam,
gangguan metabolic (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e. Tumor
otak
f. Kelainan
pembuluh darah
2. Epilepsi
Sekunder
Epilepsi yang diketahui penyebabnya
atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan
karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama ata sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi
(misalnya hipoglikemi, fenilketouria (FKU), defisiensi vitamin B6),
faktor-faktor toksisk (putus alcohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan
sirkulasi, dan neoplasma. (Price, 2006).
D. MANIFESTASI
KLINIS
Gejala dan Tanda dari
epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi yaitu:
1. Kejang
Parsial
Lesi yang terdapat pada
kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik
a) Kejang
parsial sederhana
Gejala yang timbul
sebagai kejang motoric fokal, fenomena halusianotorik, atau emosional kompleks.
Pada kejang parsial sederhana , kesadaran penderita masih baik.
b) Kejang
Parsial kompleks
Gejala bervariasi dan
hampir sama dengan kejang parsial sederahan, tetapi yang paling khas terjadi
adalah penurunan kesadaran dan otomatisme
2. Kejang
Umum
Lesi yang terdapat pada
kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran umumnya menurun
a). Kejang Absens
Hilangnya
kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringtan seperti aura atau hasulinasi, sehingga sering
tidak terdeteksi.
b). Kejang Atonik
Hilangnya
tonus mendadakdan biasanya total pada otot anggota badan, leher. Durasi kejang
bias sangat singkat atau lebih lama.
c). Kejang Mioklonik
Ditandai
dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang
terjadi dapat tunggal atau berulang.
d). Kejang Tonik-Klonik
Sering
disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengn cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan massif diseluruh otot. Mata mengalami deviasi ke
atas. Fase tonik berlangsung 10-20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jeas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
e). Kejang Klonik
Gejala
yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi
berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f). Kejang Tonik
Ditandai dengan
kaku kuduk dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat
hilangnya keseimbangan.
E. PATOFISIOLOGI
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal
ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan
di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme
yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang
terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang
(epileptogenesis).
1.
Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya
iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri,
lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
-
Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul
akibat adanya perubahan fungsional dan struktural pada membran postsinaptik;
perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan
gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan
permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan
yang mengawali kejang.
-
Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan
neuron dapat berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan
fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat
terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun
sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.
-
Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan
sifat eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan
neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi
neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
-
Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi,
peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan
pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis,
dan keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran
Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi.
Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan
jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing
abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran
penting pada epileptogenesis.
-
Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan
penurunan inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
1. GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan
serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan
jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat,
memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
2. Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului
kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi
selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus
yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat
ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai,
2012).
F. KLASIFIKASI
Klasifikasi
bangkitan epilepsi menurut International League Againts Epilepsi
1. Kejang
Parsial
Kejang parsial
merupakan kejang dengan onset pada satu bagian tubuh dan biasanya disertai
dengan aura. Kejang parsial timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrolit
yang terjadi pada salah satu hemisfer otak atau salah satu bagiann dari
hemisfer otak
a) Kejang
parsial sederhana tidak disertai penurunan kesadaran
b) Kejang
parsial kompleks disertai dengan penurunan kesadaran
2. Kejang
Umum
Kejang umum timbul
akibat abnomalitas aktivitas eleketrolit
neuron yang terjadi pada seluruh hemisfer otak secara stimultan
a) Absens
(Petit Mal)
Ciri khas serangan
absens adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat
sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu, dan bibir
b) Mioklonik
Kejang mioklonik adalah
kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang
tubuh, suatu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau
tunggal
c) Klonik
Pada ejang tipe ini
tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot, dijumpai terutama
sekali pada anak
d) Tonik
Merupakan kontraksi
otot yang kaku menyebabkan ekstremitas dalam satu posisi. Biasanya terdapat
deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, disertai rotasi seluruh batang
tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitive, pupil
dilatasi.
e) Tonik
Klonik (grand mall)
Merupakan suatu kejang
diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikiuti oleh gerakan klonik
f) Atonik
Berup kehilangan tonus.
Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh
ke depan atau ke lengan
jatuh atau menyeluruh sehingga klien
terjatuh
G. KOMPLIKASI
Komplikasi pada kejang parsial komplek dan dengan
mudah dipicu oleh stress emosional. Klien mungkin kesulitan kognitif dan
epribadian seperti :
1. Personalitas
: sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual
2. Hilang
ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada hippocampus,
anomia (ketidakmampuan untuk mengulang kata atau benda)
3. Kepribadiaan
keras : agresif dan defensive
Komplikasi yang
berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi :
1. Aspirasi
atau muntah
2. Fraktur
veterbra atau dilokasi bahu
3. Luka
pada lidah atau pipi karena tergigit
4. Status
epileptikus
Status peptikus adalah suatu
kedaruratan medis dimana kejang berulang tanpa kembalinya kesadaran diantara
kejang. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe kejang tetai yang paling
serung adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus mungkin menyababkan
kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan mugkin fatal
Komplikasi meliputi :
a. Aspirasi
b. Kardiakaritmia
c. Dehidrasi
d. Fraktur
e. Serangan
jantung
f. Trauma
kepala dan oral
H. TES
DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan
laboratorium
a. Pemeriksaan
darah tepi secara rutin
b. Pemeriksaan
lain sesuai indikasi misalnya kadar gula darah, elektrolit
c. Pemeriksaan
CSS (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, berdarah,
xantokrom, jumlah sel, kadar protein, gula, NaCl
2. Pemeriksaan
Elektroensedalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG berguna
untuk membantu menegakan diagnosis epilepsi. EEg sering dijumpai pada penderita
epiepsi berbentuk epileptiform.
a. Dapat
menetukan focus serta jenis epilepsi, apakah folk, multifocal, kortikal,
subkortikal, misalnya petit mal mempunyai gambaran 3 cps spike dan wave dan
spasme infantile mempunyai gambaran hipasritmia
b. Pemeriksaan
dilakukan secara berkala
3. Pemeriksaan
Radiologis
Hasil foto tengkorak
memperlihatkan :
a. Tulang
tengkorak simetri
b. Destuksi
tullang
c. Kalsifikasi
intrakranium yang abnormal (disebabkan oleh tumor, hematoma menahun, tuberous sclerosis, toksoplasmosis,
anomaly vascular, hemagioma), tanda peninggian intracranial : pelebaran
sustura, erosi, selatursika
4. Pemerikasaan
psikologis dan psikiatri
a. Pada
umumnya penderita epilepsi menderita retardasi mental atau tingkat kecerdasan
rendah, gangguan tingkah laku, gangguan emosi, hiperaktif
b. Penderita
epilepsi perlu mendapat perhatian dan melibatkan orang tua dalam perawatannya
serta melibatkan psikiater dan psikolog
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Penatalaksaan medis lien epilepssi meliputi
pemberian terapi :
a) Carbazepine
(Tegretol), kntra indikasi jika ada glukoma, penyakit jantung, hati dan ginjal
b) Clonazepam
(Klonopin), kontra indikasi jika ada glukoma, perlu memonitor hitung darah lengap
c) Diazepam
(Valium) diberikan untuk menghentikan aktifitas motorik yang dikaitkan dengan
status epileptikus, jika diberikan secara IV, perawat perlu memonitor adanya
respiratori distress
d) Ethosuximide
(Zarotin), konntraindikasi jika ada penyakit ginjal/hati: monitor hitung darah
lengkap dan pemeriksaan fungsi hati
e) Phenobarbital
(Luminal) menurunkan absorpsi warfarin dan metabolisme digoxin
f) Phenytoin
(Dilatin) digunakan untuk mengontrol kejang. Peraat perlu memonitor hitung sel
darah dan kadar kalsium
g) Promidone
(Myidone)
h) Valporic
acid (Depakene) meningkatkan kadar serum Phenobarbital dan perubahan serum
phenytoin, monitor hitung sel darah
2. Non
Medikamentosa
a) Tirah
baring
b) Diet
rendah kalori dan tinggi protein
3.
Terapi
Pembedahan
a)
Lobektomi
temporal
b)
Eksisi
korteks ekstratemporal
c)
Hemisferektomi
d)
Callostomi
3.2 Konsep
Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat,
dan lain-lain.
2. status
kesehatan
a. status
kesehatan saat ini
b. Status
kesehatan masa lalu
3. Penyakit
keluarga
4. Pemerisaan
Fisik :
a. Keadaan
umum
b. Tingkat
Kesadaran
c. Tanda
– tanda vital
1. Sistem
Kardiovaskular
Iktal : hipertensi,
peningkatan nadi, sianosis.
Posiktal :
tanda vital normal atau deperesi dengan penurunan nadi dan pernapasan.
2. Sistem Perkemihan
inkontinensia episodic.
Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan
tonus sfingter.
Posiktal :
Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia ( baik urine/fekal ).
3. Sistem Neurologi
a) Pengkajian
fungsi kognitif
Mengkaji fungsi
memori dan kemampuan kalkuasi klien dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi
mengenai orang, tempat, dan waktu utnuk mengobservasi perubahan neurologis.
b) Pengkajian
tingkat keterjagaan:
Kesadaran
kualitatif. kesadaran kuantitatif (GCS) yang meliputi eye, verbal dan motoric,
serta kaji kemampuan koordinasi klien.
c) Pengkajian
Nervus Cranial :
1) N
I ( Olfaktoruis) : Penurunan daya penciuman.
2) N
II (Optikus) : terjadi penurunan
kesadaran saat post iktal
3) N
III (Okulomotoris) :Penurunan lapang pandang, perubahan ukuran pupil
4) N
IV ( Trochlearis) : bola mata tidak dapat mengikuti perintah bergerak ke atas
bawah.
5) N
V (Trigeminus) : Gangguan mengunyah
6) N
VI (abducens) : bola mata tidak dapat mengikuti perintah bergerak ke kiri dan
kanan.
7) N
VII (Fasialis) : lemahnya otot-otot disekitar mata untuk menutu kelopak mata, hilangnya
rasa pada 2/3 anterior lidah.
8) N
VIII (Vestibularis) : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
9) N
IX (Glosofaringeus) : jarang ditemukan.
10) N
X (Vagus) : sulit menelan saat kejang.
11) N
XI (Assesorius) : kelemahan otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari
otot trapezieus saat iktal dan post iktal.
12) N
XII (Hipoglosus) : kelemahan untuk menggerakkan lidah.
Posiktal : kelemahan, nyeri otot,
area parestese/paralisis.
Tanda : karakteristik kejang: Fase
prodormal : adanya perubahan pada reaksi emosi atau respons afektif yang tidak
menentu yang mengarah pada fae aura dalam beberapa kasus dan berakhir beberapa
menit sampai beberapa jam.
a. Kejang umum :
Tonik-tonik
( grand mal ): kekakuan dan postur menjejak, mengerang, penurunan kesadaran,
pupil dilatasi, inkontinensia urine/fekal, pernapasan stridor ( ngorok ), saliva
keluar secara berlebihan, dan mungkin juga lidahnya tergigit.
Absen (
petit mal ) : periode gangguan kesdaran dan atau melamun ( tak sadar lingkungan
) yang diawali pandangan mata menerawang sekitar 5-30 detik saja, yang dapat
terjadi 100 kali setiap harinya, terjadinya kejang pada motorik minor mungkin bersifat
akinetik hilang gerakan ), mioklonik( kontraksi otot secara berulang ), atau atonik
( hilangnya tonus otot ).
b. Posiktal : amnesia terhadap peristiwa kejang, tidak bingung, dapat
melakukan kembali aktivitas.
c. Kejang parsial ( kompleks ) :
Lobus
psikomotor/ temporal : pasien umumnya tetap sadar, dengan reaksi seperti bermimpi,
melamun, berjalan-jalan, peka rangsang, halusinasi, bermusuhan atau takut. Dapat
menunjukangejala motorik involunter ( seperti merasakan bibir ) dan tingkah laku
yang tampak bertujuan tetapi tidak sesuai ( involunter/ automatisme ) dan termasuk
kerusakan penyesuaian, dan pada pekerjaan, kegiatan bersifat antisosial.
d. Postikal : hilangnya memori terhadap
peristiwa yang terjadi, kekacauan mental ringan sampai sedang.
e. Kejang parsial ( sederhana ) : Jacksonian/ motorik fokal ; sering
didahului oleh aura, sekitar 2-15 menit. Tidak ada Konvulsif dan terjadi
gangguan sementara pada bagian tertentu yang dikendalikan oleh bagian otak yang
terkena ( seperti lobus frontal (disfungsi motorik); parietal ( terasa baal,
kesemutan ), lobus oksipital ( cahaya terang, sinar lampu ), lobus posterotemporal
( kesulitan dalam berbicara ). Konvulsi ( kejang ) dapat mengenai seluruh tubuh
atau bagian tubuh yang mengalami gangguan yang terus berkembang. Jika dilakukan
restrein selama kejang, pasien mungkin akan melawan dan memperlihatkan tingkah
laku yang tidak kooperatif,
f. Status epileptikus : Aktivitas kejang yang terjadi
terus-menerus dengan spontan atau berhubungan dengan gejala putus antikonvulsan
tiba-tiba dan fenomena metabolic lain. Catatan : jika hilangnya kejang
mengikuti pola tertentu, masalah dapat menghilang tidak terdeteksi selama
periode waktu tertentu, sehingga pasien tidak kehilangan kesadarannya.
4. Sistem Pernapasan
Gejala : fase iktal : gigi mengatup,
sianosis, pernapasan menurun/ cepat: peningkatan sekresi mucus. Fase posiktal :
apnea.
5. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan tonus/kekuatan otot.
Gerakan involunter otot ataupun sekelompok otot.
6. Sistem Gastrointestinal
Mual/muntah,
disfagia
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko
Cedera berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi, dan
saat penanganan saat kejang dan penurunan tingkat kesadaran
2. Pola
Napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
3. Kerusakan
memori berhubungan dengan hipoksia
4. Koping
individu tidak efektif berhubungan dengan stress akibat epilepsi
5. Resiko
trauma yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama
kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri
C.
Intervensi
Keperawatan
Resiko
Cedera berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi,
dan saat penanganan saat kejang dan penurunan tingkat kesadaran
|
|
Tujuan : dalam
waktu 1 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh
kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria : klien
dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang,
melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang
|
|
INTERVENSI
|
RASIONALISASI
|
Kaji tingkat pengetahuan klien dan
keluarga dan cara penanganan saat kejang
|
Mendapatkan data dasar untuk
tindakan selanjutnya
|
Ajarkan klien dan keluarga tentang
metode mengontrol demam
|
Orang tua dengan anak yang pernah
mengalami kejang demam harus diinstruksikan tentang metode untuk engontrol
demam (kompres dingin, obat antipiretik
|
Anjurkan untuk kontrol pasca
cedera kepala
|
Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberikan keamanan
yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup
aman tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala
|
Anjurkan keluarga untuk
mempersiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman,
dan alat suksion selalu berada di dekat klien
|
Melindungi klien cedera akibat
kejang
|
anjurkan untuk mempertahankan
tirah baring total selama fase akut
|
mengurangi resiko jatuh cedera
jika vertigo,sinkope, dan ataksia terjadi
|
Kolaborasi pemberian terapi
|
Terapi medikasi untuk menurunkan
respon kejang berulang
|
Pola Napas
tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
|
|
Tujuan : setelah diberikan
perawatan selama 1 x 24 jam passien tidak mengalami gangguan pola napas
Kriteria hasil :
a. RR dalam
batas normal sesuai usia
b. nadi dalam
batas normal sesuai usia
c. wajah
tampak relaks
d. tidak
terlihat adanya otot bantu pernapasan
|
|
INTERVENSI
|
RASIONALISASI
|
Tanggalkan pakaian pada daerah
leher, dada, dan abdomen
|
Memfasilitasi usaha bernapas /
ekspansi dada
|
Masukan spatel/ jalan napas buatan
|
Dapat mencegah tergigitnya lidah,
dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir
|
Lakukan penghisapan sesuai dengan
indikasi
|
Menurunkan resiko aspirasi atau
asfiksia
|
Berikan posisi semi fowler
|
Dapat membuka jalan napas
|
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian oksigen
|
Dengan memberikan oksigen dapat
mengurangi hipoksia
|
Kerusakan memori berhubungan
dengan hipoksia
|
|
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan
keperawatan Pelatihan Memori selama 1x24 jam diharapkan pasien tidak
menunjukkan kerusakan memori dengan status orientasi kognitif skala 4.
Kriteria hasil :
a. Mengidentifikasikan orang terdekat, tempat sekarang, dan musim,
tahun, hari yang benar.
b. Menggunakan teknik untuk membantu memperbaiki memori.
c. Secara akurat mengingat secara tepat, informasi saat ini dan lama.
d. Mengungkapkan kemampuan yang lebih baik untuk mengingat.
|
|
INTERVENSI
|
RASIONALISASI
|
Kaji depresi, ansietas, dan
peningkatan stress yang mungkin memberikan konstribusi
pada kehilangan memori.
|
Untuk mengetahui intervensi
selanjutnya
|
Kaji fungsi neurologis
|
untuk menentukan masalah pasien,
apakah kehilangan memori
atau demensia.
|
Bantu pasien untuk rileks
|
untuk meningkatkan konsentrasi.
|
Berikan kesempatan pasien untuk
konsentrasi seperti suatu permainan pasangan kartu
yang sesuai.
|
untuk meningkatkan daya ingat
klien dengan menggunakan permainan
|
Koping
individu tidak efektif berhubungan dengan stress akibat epilepsi
|
|
Tujuan : setelah
dilakukan intervensi keperawatan, koping individu/keluarga membaik kriteria :
a. klien/kelurga
mampu mengatasi masalah yang dihadapi
b. klien/keluarga
dapat memahami kondisi dan keterbatasan yang diakibatkan oleh epilepsi
c. klien dan
keluarga mau bekerja sama dengan tim kesehatan
|
|
INTERVENSI
|
RASIONALISASI
|
Kaji perasaan takut, asing,
depresi, dan tidak pasti
|
Klien dengan status epilepsi
biasanya diasingkan dari berbgai aktifitas
|
Kaji adanya maalah psikologis
seperti skizofrenia dan impulsif atau perilaku cepat marah
|
Beberapa klien epilepsi dapat
mengalami masalah psikologis yang disebabkan oleh kerusakan otak (area
mengontrol pikiran dan emosi, sahingga memerlukan penaganan kesehatan mental
yang komprehensif
|
Lakukan konseling terhadap
individu dan keluarga
|
Konseling akan membantu individu
dan keluarga memahami kondisi dan keterbatasan yang diakibatkan oleh epilepsi
|
Resiko
trauma yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama
kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri
|
|
Tujuan : dapat mengurangi resiko
cedera pada klien
|
|
INTERVENSI
|
RASIONALISASI
|
Kaji karekteristik kejang
|
Untuk mengetahui seberapa besar
tingkatan kejang yang dialami pasien sehingga pemberian intervensi berjalan
dengn baik
|
Jauhkan pasien dari benda – benda
tajam/membhayakan bagi pasien
|
Penda tajam dapat melukai dan
mencederai fisik kilen
|
Segera letakan sendok dimulut
pasien yaitu diantara rahang pasien
|
Dengan meletakan sendok diantara
rahangg atas dan rahang bawah, maka resiko psien menggigit lidahnya tidak
terjadi dan jalan napas klien tetap terjaga
|
Kolaborasi dalam pemberian terapi
anti kejang
|
Obat anti kejang dapat mengurangi
derajat kejan yang dialami pasien, sehingga resiko untuk cederapun berkurang
|
D. Evaluasi
1. Tidak
terjadi cedera yang parah
2. Pernapasan
klien tampak rileks dan dalam batas normal
3. Klien
mampu mengingat kejadian dan hipoksia teratasi
4. Klien
tidak mengalami stress yang berkepanjangan
5. Klien
tidak terjadi trauma.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Epilepsi adalah manifestasi gangguan
otak dengan berbagai etiologi, namum dengan gejala yang khas, yaitu serangan
berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara
berlebihan.
Epilepsi adalah
setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara yang
bersifat paroksimal yang dimanifestasikan berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodic, fenomena motoric yang abnormal, gangguan psikis,
sensorik, dan system otonom ; gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas
listrik otak.
Epilepsi adalah kelainan kejang akibat pembebasan listrik
yang tidak terkontrol dari sel saraf kontek serebral yang ditandai
dengan serangan tiba – tiba terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas
motorik, gangguan fenomena sensori.
3.2 Saran
Penderita segera melakukan pemeriksaan EEG dan
laboratorium. Selain itu pasien perlu diberi penjelasan tentang penyakitnya
sehingga pasien tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap pola hidupnya
misalnya penderita epilepsi tidak boleh bekerja sebagai sopir. Untuk
teman-teman agar dapat menerapkan apa yang seharusnya dilakukan apabila
menemukan penderita epilepsi di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Behman, Richard
E, Kliegman, Robert M, dan Arvin M. 2000. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson Vol.2. Jakarta: EGC
Boughman, Diane
C & Hackley, Joann C. 2000.Buku Saku
Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC
Davey,PAttrick.2005.At a Glance Medicine. Jakarta: EGC
Widagdo, Wahyu,
Ratna Aryani. 2008. Asuhan Keperawatan
Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : TIM
Batticaca,
Fransisca B. 2008.Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sitem Persarafan,Jakarta: Salemba Medika
Marcedate, Karen
J, Robert M. Kliegman , dan Hal B. Jenson. Ilmu
Kesehatan Anak Esensial. Edisi ke 6.