makalah askep pada inkontinensia urine


halo sobat semua admin akan membagikan makalah inkontinensia urine yang dibahas secara rinci dan mudah mudah di mengerti dan di dalamnya membahas kerangka teori inkontinentia urine dan asuhan keperawatannya.

makalah askep pada inkontinensia urine
www.materikelas.com



artikel lain yang mungkin anda kunjungi juga yaitu : Asuhan Keperawatan pada Klien Mitral Stenosis
1.      LATAR BELAKANG
Inkontinesia urine merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut, khusunya perempuan. Inkontinensia Urinee sering kali tidak dilaporkan oleh klien atau keluargannya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang tabu untuk diceritakan dan juga karena ketidaktahuan mengenai masalah Inkontinensia Urinee dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu di obati (Sudoyono dkk, 2006).
Inkontinensia Urine meupakan eliminasi urine dari kandung kemigh yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. Lebih dari 10 juta penduduk dewasa amerika serikat menderita Inkontinensia Urine (AHCPR,1992). Keadaan ini mengenai individu dengan segala usia meskipun paling sering dijumpai diantara para lansia, dilaporkan bahwa lebih dari separuh penghuni panti lansia menderita Inkontinensia Urinee (Brunner dan Suddart, 2001).
Oleh karena itu penulis sangat tertarik membagikan sebuah informasi tentang asuhan keperawatan pada klien Inkontinensia Urine.

2.      RUMUSAN MASALAH
o    Apakah pengertian dari Inkontinensia Urine ?
o    Apa penyebab/etiologi Inkontinensia Urine?
o    Bagaimana patogenesis dari Inkontinensia Urine?
o    Bagaimana perjalanan Inkontinensia Urine?
o    Apakah efek dari Inkontinensia Urine?
o    Bagaimana penatalaksanaan Inkontinensia Urine?
o    Apa saja komplikasi dari Inkontinensia Urine?
o    Apa tanda gejala dari Inkontinensia Urine?

3.      TUJUAN
o    Untuk mengetahui pengertian dari Inkontinensia Urine
o    Untuk mengetahui penyebab Inkontinensia Urine
o    Untuk mengetahui patogenesis Inkontinensia Urine
o    Untuk mengetahui pengaruh Inkontinensia Urine terhadap tubuh
o    Untuk mengetahui penatalaksanaan Inkontinensia Urine baik secara farmaklogi dan non farmakologi
o    Untuk mengetahui komplikasi Inkontinensia Urine
o    Untuk mengetahui tanda gejala dari Inkontinensia Urine

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Anatomi dan fisiologi perkemihan
Sistem urinaria merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan homeostatis tubuh.
a.       Komponen
Sistem urinaria terdiri dari dua ginjal yang memproduksi urine, 2 ureter yang membawa urine kedalam sebuah kandung kemih untuk penampungan sementara. Dan uretra yang mengalirkan urine keluar tubuh melalui orifisium uretra eksterna.

b.      Fungsi ginjal
1.      Pengeluaran zat sisa organic. Ginjal mengeksresi urea, asam urat, kreatinin dan produk penguraian hemoglobin dan hormone.
2.      Pengaturan konsentrasi ion – ion penting. Ginjal mengeksresi ion natrium, kalium, calcium, magnesium, sulfat dan fosfat. Eksresi ion ion ini seimbang dengan asupan dan eksresinya melalui rute lain.
3.      Pengaturan keseimbangan asam dan basa tubuh. ginjal mengendalikan eksresi ion hydrogen, bikarbonat dan ammonium Serta memproduksi urine asam atau basa, bergantung pada kebutuhan tubuh.
4.      Pengaturan produksi sel darah merah. Ginjal melepas eritropoietin yang mengatur produksi sel darah merah dalam sumsum tulang.
5.      Pengaturan tekanan darah. Ginjal mengatur volume cairan yang esensial bagi pengaturan tekanan darah dan uga memproduksi enzim rennin. Rennin adalah komponen penting dalam mekanisme rennin-angiotensin aldosteron, yang meningkatkan tekanan darah dan retensi air.
6.      Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino darah. Ginjal, melalui eksresi glukosa dan asam amino berlebih, bertanggung jawab atas konsentrasi nutrient dalam darah.
7.      Pengeluaran zat beracun. Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh.
c.       Struktur ginjal
1.      Hillus (hilum) adalah tingkat kecekungan tepi medial ginjal.
2.      Sinus ginjal adalah rongga berisi lemak yang membuka pada hillus, sinus ini membentuk perlengketan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan arteri renalis, saraf dan limfatik.
3.      Parenkim ginjal terbagi 2 bagian yaitu kortek dan medulla ginjal
a.       Medulla terdiri dari massa-massa triangular yang disebut piramida ginjal.
b.      Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang merupakan unit structural dan fungsional ginjal.

d.      Struktur nefron 
Satu ginjal mengandung 1,2 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urine. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular (kapiler) dan satu komponen tubular.  terdiri dari:
1.      Glomerulus yaitu untuk tempat filtrasi dan pembentukan urine.
2.      Tubulus proksimal dan tubulus ansa henle yaitu untuk reabsorbsi zat yang masih dapat dipakai oleh tubuh.
3.      Tubulus distal yaitu untuk proses sekresi
4.      Tubulus kolectivus yaitu untuk eksresi zat yang harus dibuang dalam tubuh. (Ethel Sloane, 2003)

e.       kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai kontainer penyimpanan urine.
1.      lokasi. Pada laki-laki. Kandung kemih terletak tepat di belakang simfisisi pubis dan di depan rektum. Pada perempuan, organ ini terletak agak di bawah uterus di depan vagina. Ukuran organ ini sebesar kecangkenari dan terletak di pelvis saat kosong; organ berbentuk seperti buah pir dan dapat mencapai umbilikus dalam rongga abdominopelvis jika penuh berisi urine.
2.      Struktur. Kandung kemih ditopang dalam rongga pelvis dengan lipatan-lipatan peritoneum dan kondensasi fasia.
a.       Dinding kandung kemih terdiri dari 4 lapisan:
(1)   Serosa adalah lapisan terluar. Lapisan ini merupakan perpanjangan lapisan peritoneal rongga abdominopelvis dan hanya ada di bagian atas pelvis.
(2)   Otot detrusor adalah lapisan tengah. Lapisan ini tersusun dari berkas-berkas otot polos yang satu sama lain saling membentuk sudut. ini untuk memastikan bahwa selam urinasi, kandung kemih akan berkontraksi dengan serempak ke segala arah.
(3)   Submukosa adalah lapisan jaringan ikat yang terletak di bawah mukosa dan menghubungkannya dengan muskularis.
(4)   Mukosa adalah lapisan terdalam. Lapisan ini merupakan lapisan epitel yang tersusun dari epitelium transisional. Pada kandung kemih yang relaks, mukosa membentuk ruga (lipatan-lipatan) yang akan memipih dan mengembang saat urine berakumulasi dalam kandung kemih.
b.      Trigonum adalah area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkemang yang terletak secara internal di bagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang. Di sudut atas trigonum, dua ureter bermuara ke kandung kemih. Uretra keluar dari kandung kemih di bagian apeks trigonum.
c.       Perkemihan (urinasi)  bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pengeluaran urine membutuhkan kontraksi aktif otot detrusor.
1)      Bagian dari otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter uretra internal yang menjaga saluran tetap tertutup otot ini diinvervasi oleh neuron parasimpatis.
2)      Sfingter uretra eksternal terbentuk dari otot rangka dari otot perineal transversa yang berbeda di bawah kendali volunter. Bagian pubokoksigeus pada otot levator ani juga berkontribusi dalam pembentukan sfingter.
3)      Relfeks perkemihan terjadi saat peregangan kandung kemih sampai sekitar 300 ml sampai 400 ml urine menstimulasi reseptor perengan pada dinding kandung kemih.
a.      Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang menjalar melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.
b.      Refleks perkemihan menyebabkan kontraksi otot detrusor, relaksasi sfingter internal dan eksternal mengakibatkan pengosongan kandung kemih.
c.       Pada laki-laki, serabut simpatis menginvernasi jalan keluar uretra dan mengkonstriksi jalan tersebut untuk mencegah refluks semen ke dalam kandung kemih saat orgasme.
4)      Pencegahan refluks perkemihan melalui kendali volunter sfingter eksternal adalah respons yang dapat dipelajari.
a.       Pencengahan volunter bergantung pada integrasi saraf terhadap kandung kemih dan uretra, trakus yang keluar dari medulla spinalis menuju dan dari otak, dan area motorik serebrum. Cedera pada lokasi ini dapat menyebabkan inkotinensia.
b.      Kendali volunter urinasi (“latihan toileting”) adalah respons yang dapat dipelajari. Hal ini tidak dapat dilatih pada SSP yang imatur dan sebaiknya ditunda sampai paling tidak berusia 18 bulan.

f.       Sistem vaskularisasi di kandung kemih di perankan oleh arteri iliaka interna dan vena iliaka interna
g.      Proses miksi (proses berkemih)
Pertambahan vol urine è tekanan intra vesicalis meningkat è keregangan dinding vesicalis (muskulus detrusor) è sinyal- sinyal miksi ke pusat saraf lebih tinggi è untuk diteruskan kembali ke saraf-saraf spinal ( sacrum 2-3)è timbul refleks spinal èmelalui nervus pelvicus è timbul perasaan tegang pada vesica urinaria sehingga mengakibatkan permulaan perasaan ingin berkemih (Virgiawan, 2008).



A.    Pengertian
Inkontinensia Urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain: masalah medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit di sekitar kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa perasaan malu. (Basuki, 2012)
Inkontinensia Urine merupakan eliminasi urine dari kantung kemih yang tidak terkendali atau di luar keinginan. Jika Inkontinensia ini terjadi akibat kelainan inflamasi(sistitis), sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya permanen  (Black, 2014)
Inkontinensia Urine  adalah pengeluaran urine tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial. Inkontinensia Urinee biasanya dialami oleh usia lanjut bisa juga pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit.(Brunner and Suddart, 2001)
Jadi, Inkontinensia Urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan   keluarnya urine akibat kelemahan otot disekitar kandung kemih atau kelainan neurologis (sacrum 2-3).

B.     Klasifikasi
Ada beberapa pembagian Inkontinensia Urine, tetapi pada umumnya dibagi dalam 4 Kelompok:
1.      Inkontinensia Urine Stress
Terjadi apabila urine secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering Inkontinensia Urine pada lansia di bawah 75 tahun.
2.      Inkontinensia Urine Urge
Timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan Inkontinensia Urine urgensi, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia, dan cidera medula spenalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa Inkontinensia Urine.
3.      Inkontinensia Urine Total
Di mana kencing mengalir keluar sepanjang waktu dan pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang menghubungkan satu organ dalam tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan atau fistula uretrovaginalis ( saluran antara uretra dengan vagina.
4.      Inkontinensia Urine Overflow
Tidak terkendalinya pengeluaran urine dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Disebabkan oleh obstruksi anatomis seperti pembesaran prostat, factor neurogenik pada diabetes melitus, yang menyebabkan berkurangtidaknya kontraksi kandung kemih, dan fakor obat-obatan. Pasien mengeluh keluarnya sedikit urine tanpa ada sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh. Urine yang mengalir isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih akibat otot detrusor yang lemah.

C.     Faktor penyebab
a.       Komplikasi dari penyakit seperti infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.
b.      Perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, sering dengan bertambahnya usia akan mengalami kelemahan otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali pada perempuan atau wanita, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
c.       Adanya kontraksi abdominal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.


D.    Patofisiologi
Perubahan patofisologi yang berhubungan dengan inkontinesia berbeda dengan tiap penyebab spesifik kelainannya. Pada inkontinensia tekanan, peningkatan tekanan intra vesika biasanya timbul dari kegiatan seperti bensin, batuk, tertawa dan exersi. Dapat terjadi disfungsi pada sphincter uretra atau, pada perempuan, perubahan pada pertemuan uretrovesika disebabkan karena kelemahan otot periruretra kelemahan otot dari persalinan, menopause, atau masalah lain yang melonggarkan lantai pelvis. Terlebih dari hilangnya tonus otot yang menyangga pertemuan uretrovesika, terdapat bertambahnya penurunan, dengan efek funneling pada leher kandung kemih pada saat exersi. Pada laki-laki, perubahan patofisiologi biasanya timbul dai BPH, yang menyebabkan retensi, overflow dan inkontinesia tekanan.
Detrusor over activity (urge incontinence) berhubungan dengan beberapa perubahan patofisiologis dan dalam beberapa kasus, penyebab patofisiologisnya tidak diketahui. Salah satu masalahnya adalah berkurang nya mobilitas karena lesi neuron motor atas spinalis tergabung dengan ketidakmampuan untuk menahan kencing ketika impuls dirasakan.
Inkontinensia Urine over flow berasal dari distensi berlebih dari buli-buli dan over flow dari kelebihan urine. Biasanya masalah ini timbul karena adanya obstruksi pengeluaran dari kandung kemih, seperti BPH.
Jika inkontinensia tidak dikontrol, hal ini dapat menjadi masalah psikologis dan fisik. Konsikuensi psikologis dari inkontinensia sangatlah serius. Klien-klien dapat mengisolasikan diri dan rasa takut akan dipermalukan dan hal tersebut akan menjurus pada depresi. Inkontinensia juga merupakan penyebab utama masuk ke panti jompo. Komplikasi fisik dari inkontinensia meliputi infeksi, masalah kulit dan disfungsi berkemih permanen. (Black, 2014)

E.     Manifestasi Klinis
Wanita cenderung mudah terangsang infeksi saluran kemih bila dibandingkan dengan pria. Inkontinensia Urine dapat terjadi dengan berbagai tanda dan gejala antara lain :
1.      Perkemihan di luar keinginan
2.      Kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat
3.      Tindak mempunyai control yang tinggi untuk mengeluarkan urine
4.      Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan Inkontinensia Urine
5.      Nokturia lebih dari dua kali selama tidur
6.      Kencing pada saat batuk, mengedan, tertawa, bersin, dan berlari
7.      Kencing berulang kali, kencing malam hari, mendadak ingin kencing


F.      Komplikasi
Komplikasi potensial dari kateterisasi suprapubis mencangkup lepasnya kateter yang terdiri dari :
·         Hematuria ( terutama setelah penggunaan kateter yang sangat besar),
·         Perforasi usus saat penggunaan trokar
·         Gagalnya penyembuhan luka, yang akan menimbulkan fistula saluran kencing.
·         Resiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih.  (Black, 2014)



G.    Test Diagnostic
1.      Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara: setelah buang air kecil pasang kateter, ukur urine yang keluar dari kateter atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis
2.      Tes lanjutan
a)      Tes laboratorium : kultur urine, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa sitologi, elektrolit, ureum
b)      Tes tekanan uretra, untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat istirahat
3.      Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan glukosa dalam urine
4.      Uroflometer
Untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran pasien berkemih
5.      USG Kandung Kemih, Sistoskopi, dan IVP (IntraVenous Pyelographi)
Untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih






H.    Penatalaksanaan
Pengelolaan Inkontinensia Urine dapat dilakukan dengan:
1.      Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya Inkontinensia Urine seperti hyperplasia prostat, inveksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi. Terapi yang dapat dilakukan adalah:
a)      Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi berkemih 6-7 kali per hari
b)      Membiasakan berkemih pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia
c)      Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
d)     Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang
2.      Katerisasi baik secara berkala maupun menetap
Ada 3 macam katerisasi pada Inkontinensia Urine :
a)      Katerisasi luar
Terutama pada pria yang memakai sistem kateter kondom. Efek samping yang utama yaitu iritasi pada kulit dan sering lepas
b)      Katerisasi intermiten
Frekuensi pemasangan 2-4 kali sehari
c)      Katerisasi secara menetap
3.      Terapi pembedahan
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urine. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hyperplasia prostat, dan prolaps pelvic ( pada wanita )
4.      Terapi farmakologi
a) Obat-obatan yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti oxybutinin, propantteine, dicylomine, flavoxat, imipramine
b) Inkontinensia stress diberikan alfa adrenergik argonis yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retrensi uretra.
BAB III
1.      ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN INKONTINENSIA URINE
A.    Pengkajian
1.      Riwayat Kesehatan
a.       Identitas Klien
b.      Riwayat Penyakit
1.      Riwayat Penyakit sekarang
Klien datang dengan keluhan mengalami ketidakmampuan menunda berkemih.
2.      Riwayat Penyakit dahulu
a)      Ada tidaknya obstruksi pada saluran keluarnya urin, misalnya pada pembesaran prostat atau impaksi fekal.
b)      Ada tidaknya infeksi saluran kemih.
c)      Ada tidaknya obesitas.
d)     Ada tidaknya vaginitis atrifik.
e)      Kaji penggunaan obat-obatan dan dosisnya yang pernah dikonsumsi.
f)       Ada tidaknya penggunaan terapi estrogen.
3.      Riwayat Keluarga
4.      Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti yang dialami klien.
2.      Pemeriksaan Fisik
a.       Sistem cardiovaskuler
Terjadinya peningkatan tekanan darah, biasanya klien bingung dan gelisah, kaji bentuk dada
b.      Sistem neurologi
Anamnese: ada tidaknya status mental, ada tidaknya gangguan kognitif, ada tidaknya gangguan kesadaran, ada tidaknya delirium, depresi atau demensia.
Inspeksi : bentuk mata, sclera, konjungtiva.
Palpasi   : nyeri tekan pada bola mata, warna mukosa konjungtiva, warna mukosa sclera.
c.       Sistem pernafasan
Anamnese : Ada tidaknya kesulitan bernapas, adanya gangguan pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun.
Inspeksi  : pengembangan dada, frekuensi pernapasan, bentuk hidung, pernapasan cuping hidung, secret
Palpasi   : pengembangan paru pada inspirasi dan ekspirasi, fokal fremitus, nyeri tekan, nyeri tekan pada hidung
Perkusi     : batas jantung, batas paru, ada/tidakn penumpukan secret.
Auskultasi: bunyi paru dan suara napas
d.      Sistem pencernaan
Anamnese: Ada tidaknya nyeri abdomen, ada tidaknya diet yang sedang dijalani, misalnya diet rendah garam, ada tidaknya diare, kehilangan nafsu makan (anoreksia).
Inspeksi    : bentuk abdomen, warna kulit abdomen.
Auskultasi: bising usus , bising vena, pergesekan hepar dan lien.
Perkusi   : batas hepar, batas ginjal, batas lien, ada/tidaknya penimbunan cairan diperut.
Palpasi      : palpasi abdomen untuk melokalisasi nyeri tekan. 
e.       Sistem Genitalia (fokus pengkajian)
1.      Anamnese
Tanyakan pada klien
a.       Kapan inkontinensia urin mulai muncul?
b.      Kebocoran sejumlah kecil urin terjadi ketika apa?
c.       Berapa lama durasi saat berkemih?
d.      Frekuensi berkemih dalam sehari?
e.       Berapa kali sehari inkontinensia terjadi?
f.       Ada tidaknya urine yang menetes di antara waktu miksi, jika ada berapa banyak?
g.      Ada tidaknya penurunan pancaran urin saat berkemih?
h.      Jumlah urin yang dikeluarkan (sedikit, sedang, banyak)
i.        Ada tidaknya aliran yang berlebihan (overflow)
j.        Ada tidaknya berkemih pada malam hari.
k.      Apakah klien menyadari atau merasakan keinginan akan miksi sebelum inkontinensia terjadi?
l.        Apakah klien merasakan kandung kemih terasa penuh?
2.      Inspeksi
a.       Adanya kemerahan, iritasi/lecet dan bengkak pada daerah perineal.
b.      Adanya benjolan atau tumor spinal cord.
3.      Palpasi
a.       Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan.
b.      Teraba benjolan tumor daerah spinal cord.
4.      Perkusi
Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih.
f.       Sistem Integumen
Inspeksi : warna kulit, benjolan.
Palpasi   : nyeri tekan pada kulit.
g.      Sistem muskulokeletal 
Periksa kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
Ekstremitas Atas :
inspeksi : warna kulit, bentuk tangan.
Palpasi  : nyeri tekan, kekuatan otot.
Ektremitas Bawah:
Inspeksi : warna kulit, bentuk kaki
Palpasi   : nyeri tekan, kekuatan otot.

B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Gangguan eliminasi urin (inkontinensia urin) berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
2.      Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
3.      Resiko insfeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu lama.
4.      Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kosntan oleh urine.
5.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
C.     Perencanaan Keperawatan
Gangguan eliminasi urin (inkontinensia urin) berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu mengontrol eliminasi urine.
Kriteria Hasil:
a.    Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia.
b.    Tidak ada distensi bladder.
Intervensi
Rasional
1.    Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering.

2.    Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari.
3.    Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kuraneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal).
4.    Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan.

5.    Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi).
Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih yang berlebih.
Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah enuresis.
Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih.


Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih.
Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.
Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan, gangguan harga diri klien hilang atau berkurang.
Kriteria hasil:
a.    Harga diri klien meningkat.
b.    Klien tidak merasa malu.
c.    Klien mampu bersosialisasi dengan orang lain.
Intervensi
Rasional
1.    Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi pengobatan dan ansietas sehubungan dengan situasi.
2.    Diskusikan arti perubahan pada klien.




3.    Tentukan peran klien dalam keluarga dan persepsi klien akan harapan diri orang lain.
4.    Anjurkan orang terdekat memperlakukan klien secara normal dan bukan sebagai orang sakit.
5.    Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi klien setiap 2 jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400m/hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
6.    Lakukan tindakan kolaborasi untuk memelihara asam urine, misal: tingkatkan masukan sari buah beri atau berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
Mengidentifikasi luasnya masalah dan perlunya intervensi.

Beberapa klien memandang situasi sebagai tantangan, beberapa sulit menerima perubahan hidup atau penampilan peran dan kehilangan kemampuan kontrol tubuh sendiri.
Penyakit lama atau permanen dan ketidakmampuan untuk memenuhi peran dalam keluarga.
Menyampaikan harapan bahwa klien mampu untuk mempertahankan perasaan.

Untuk mencegah stasis urine.




Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman, karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
Resiko insfeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu:
a.    Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan.
b.    Urinalisis dalam batas normal.
c.    Kultur urine meunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi
Rasional
1.    Berikan perawatan perineal dengan air sabun 3 kali sehari, jika klien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
2.    Jika dipasang kateter, berikan perawatan kateter 2 kali sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.
3.    Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaina sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah menjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantong drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan katerisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
4.    Ubah posisi klien setiap 2 jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400ml/hari (kecuali di kontraindikasikan). Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
5.    Lakukan tindakan kolaborasi untuk memelihara asam urine, misal: tingkatkan masukan sari buah beri atau berikan obat-obatan untuk meningkatkan asam urine.
Perawatan perineal mencegah kontaminasi pada uretra.


Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.

Kewaspadaan umum (cuci tangan dan pemakaian sarung tangan atau APD) mencegah kontaminasi silang.







Ambulasi mencegah stasis urine.




Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah beri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine, peningkatan masukan cairan sari dapat berpengaruh dalampengobatan infeks saluran kemih.
Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan integritas kulitdapat terjaga.
Kriteria hasil:
a.    Mempertahankan integritas kulit.
b.    Menunjukan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit.
c.    Suhu 370 C dan urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi
Rasional
1.    Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan adanya kemerahan.
2.    Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.

3.    Ubah posisi sesering mungkin.


4.    Pertahankan linen kering.

5.    Anjurkan klien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis.
6.    Anjurkan memakai pakaian katun longgar.

7.    Berikan perawatan kulit.
8.    Pertahankan linen kering.

9.    Anjurkan klien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis.
10.              Anjurkan memakai pakaian katun longgar.
Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus/infeksi.
Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebih yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan.
Menurunkan tekanan pada edema, jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia.
Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit.
Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera.

Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab menurunkan iskemia.
Mengurangi pengeringan robekan kulit.
Menurun iritasi dermal dan risiko kerusakan cedera.
Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera.

Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien mendapatkan pengetahuan tentang pencegahan dan penatalaksanaan kondisinya.
Kriteria hasil:
a.    Menyatakan pemahaman tentang kondisi/proses penyakit, pengobatan, dan prognosis.
b.    Melakukan dengan benar prosedur yang perlu, menjelaskan alasan tindakan.
c.    Melakukan perubahan pola hidup yang perlu.
Intervensi
Rasional
1.    Kaji tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar dari klien.

2.    Ajarkan informasi yang diperlukan:
a.       Gunakan kata-kata sesuai tingkat pengetahuan klien.
b.      Pilih waktu kapan klien paling nyaman dan berminat.
c.       Batasi sesi penyuluhan sampai 30 menit atau kurang.
3.    Dorong dan berikan kesempatan untuk bertanya.
Keinginan untuk belajar tergantung pada kondisi fisik klien, tingkat ansietas dan kesiapan mental.
Individualisasi rencana penyuluhan meningkatkan pembelajaran.





Meningkatkan proses belajar, meningkatkan pengambilan keputusan dan menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan.


DAFTAR PUSTAKA
Purnomo, Basuki, 2012. Dasar – Dasar Urologi Edisi ketiga. Jakarta : Sagung Seto
Brunner, Suddarth. 2001. “Keperawatan Medikal Bedah”.Jakarta : EGC.
Sudoyono, A. W. dkk. 2006. Ilmu Keperawatan Dalam Ed. IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Black , 2014. Medikal keperawatan bedah. Jakarta : EGC.


Share this

Related Posts

First