asuhan keperawatan Guilaine Bare Syndrome (GBS) 2016


Halo sobat kali ini admin akan  membahas tentang penyakit Guilane Bare Syndroma plus asuhan keperawatannya semoga artikel ini membantu pembaca semua. 
asuhan keperawatan Guilaine Bare Syndrome (GBS) 2016
www.Prestasisiswa.com


Kunjungi juga artikel Menarik Seperti : 

11 Cara membuat BLOG PEMULA

A.    Latar Belakang
Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer.
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara–negara berkembang dan merupakan penyebab tersering dari paralysis akut.Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun.Lebih sering dijumpai pada laki – laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini, yaitu :
1.    Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem saraf?
2.    Apa pengertian dari GBS?
3.    Apa etiologi dari GBS?
4.    Apa klasifikasi dari GBS?
5.    Bagaimana patofisiologi dari GBS?
6.    Bagaimana manifestasi klinis dari GBS?
7.    Apa komplikasi dari GBS?
8.    Bagaimana prognosis dari GBS?
9.    Bagaimana test diagnostik dari GBS?
10.          Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan dari GBS?
11.          Bagaimanakonsep asuhan keperawatan pada pasien GBS?


C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penyusunan makalah ini mempunyai dua tujuan. Yakni sebagai berikut:
1.    Tujuan Umum
Untuk memahami konsep dasar penyakit dan konsep asuhan keperawatan pada klien dengan Sindrom Guillain-Baree


2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk memahami anatomi dan fisiologi dari sistem saraf
b.    Untuk mengetahui  pengertian dari GBS
c.    Untuk mengetahui etiologi dari GBS
d.   Untuk mengetahui Klasifikasi dari GBS
e.    Untuk mengetahui patofisiologi dari GBS
f.     Untuk mengetahui manifestasi klinis dari GBS
g.    Untuk mengetahui komplikasi dari GBS
h.    Untuk mengetahui prognosis dari GBS
i.      Untuk mengetahui bagaimana test diagnostik dari GBS
j.      Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan dari GBS
k.    Untuk memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien GBS

D.    Metode Penelitian
Makalah ini di tulis dengan menggunakan metode:
1.    Studi pustaka
Pengumpulan materi dengan cara membaca buku yang berkaitan dengan masalah atau topik yang dibahas dalam makalah ini.
2.    Diskusi kelompok
Pembahasan materi dengan anggota dalam kelompok.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.    ANATOMI FISIOLOGI

Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi. Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (Neuroglia dan sel Schwann). Kedua jenis tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron mempunyai badan sel dengan satu atau beberapa tonjolan. Sel neuron mempunyai dua jenis tonjolan yaitu akson dan dendrit.  Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel adalah akson. Sedangan dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju ke badan sel. Sedangkan  salah satu sel penyokong dari sistem saraf adalah myelin. Myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf (Smeltzer, 2001:2248). Serabut saraf yang mempunyai selubung myelin disebut serabut bermyelin dan sedangkan yang tidak bermyelin disebut serabut tidak bermyelin.
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 pasang saraf kranialis dan 31 pasang saraf spinalis. Sebagian besar saraf tepi berisi serabut serabut sensorik (aferen) dan motorik (eferen). Serabut aferen dan eferen berjalan bersama dalam arah yang berlawanan disemua saraf spinal dan sebagian besar saraf kranial. Beberapa saraf kranial hanya membawa informasi aferen. Neuron aferen menyampaikan informasi ke sistem saraf pusat dari semua organ sensorik, reseptor tekanan dan volume, reseptor suhu, reseptor regangan, dan reseptor nyeri. Neuron eferen menyampaikan stimulasi saraf ke otot dan kelenjar.
Saraf Kranial
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang belakang yang disebut foramina (tunggal, foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dalam nama atau angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah Olfactorius (I), Opticus (II), Oculomotoris (III), Trocklaris (IV),Trigeminus (V), Abducens (VI), Facialis (VII), Vestibulocochlear (VIII),Glossopharyngeal (IX), Vasgus (X), Accessory (XI), Hypoglossal (XII). Saraf kranial I,II, dan VIII merupakan saraf sensorik murni ; saraf kranial III, IV, XI dan XII terutama merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut propioseptif dari otot-otot yang dipersarafinnya ; saraf kranial V, VII dan X merupakan saraf campuran. Saraf kranial III, VII, dan X juga mengandung beberapa searbut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom (Price dan Wilson, 2005:1033)

Fungsi-fungsi Saraf Kranial
Saraf Kranial
Komponen
Fungsi
I      Olfaktorius
Sensorik
Penciuman
II     Optikus
Sensorik
Penglihatan
III    Okulomotorius
Motorik
Mengangkat kelopak mata atas
Kontraksi pupil
Sebagian besar gerakan ekstraokular
IV   Troklearis
Motorik
Gerakan mata kebawah dan kedalam
V    Trigeminus
Motorik



Sensorik
Otot temporalis dan maseter (menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral

1)  Kulit wajah, dua pertiga depan kulit kepala, mukosa mata, mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi.

2)  Reflek kornea atau refleks mengedip; komponen sensorik dibawa oleh saraf kranial 5, respons motorik melalui saraf kranial 7
VI   Abdusen
Motorik
Deviasi mata ke lateral
Saraf Kranial
Komponen
Fungsi
VII  Fasialis
Motorik




Sensorik
1)  Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling mata serta mulut.

2)  Lakrimasi dan salivasi

Pengecapan dua per tiga depan lidah (rasa, manis, asam dan asin)
VIIICabang vestibulokoklearis
Sensorik
Keseimbangan
Cabang koklearis
Sensorik
Pendengaran
IX  Glosofaringeus
Motorik


Sensorik
Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi

Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit
X    Vagus
Motorik


Sensorik
Faring, faring: menelan, refleks muntah, fonasi; visera abdomen

Faring, laring: refleks muntah; visera leher, thoraks dan abdomen
XI   Asesorius
Motorik
Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius: pergerakan kepala dan bahu
XII  Hipoglosus
Motorik
Pergerakan lidah

 Saraf Spinal
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramina intervetebralis (tulang pada tulang belakang). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan foramina interveterbralis tempat keluarnya saraf-saraf tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar d
iantara tulang oksipital dan vertebra servikal pertama.
Masing-masing saraf spinal dihubungkan dengan medulla spinalis oleh dua radiks; radiks anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri atas berkas serabut saraf yang membawa impuls saraf menjauhi susunan saraf pusat. Serabut saraf seperti ini dinamakan serabut eferen. Serabut eferen yang menuju ke otot skeletal dan menyebabkan otot ini berkontraksi atau biasanya dinamakan serabut motorik.
Radiks posterior terdiri atas berkas serabut saraf yang membawa impuls ke susunan saraf pusat dan dinamakan serabut aferen. Karena serabut ini berkaitan dengan penghantaran informasi mengenai sensasi raba, nyeri, suhu, dan vibrasi, serabut ini dinamakan serabut sensorik.


A. DEFINISI
Sindrom Guillain-Bare merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf tepi dan kranial. (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G, 2002)

Sindrom Guillain-Bare adalah gangguan neuron motoric bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motoric juga terlibat. (Sylvia A.Price dan Lorraine, 2005)

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre
Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Sindrom Guillain-Bare adalah suatu sindroma klinis yang berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer dan saraf tepi.


B.     ETIOLOGI
Penyebab dari GBS sampai sekarang tidak diketahui, namun mekanisme patogenetik mencakup demielinisasi inflamasi dengan berbagai kerusakan akson pada sistem saraf perifer. Namun penyakit ini juga diantarai oleh berbagai proses autoimun sepertiCytomegalo Virus (CMV), Epstein-barr VirusMycoplasma Pneumonia dan Compylobacter Jejuni. Kebanyakan klien mengalami infeksi umum dalam 3 minggu sebelum timbul gejala GBS dan faktanya infeksi tersebut yang akhirnya memicu terjadinya GBS.
Paling banyak klien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi pernapasan dan gastrointestinal 1 sampai 4 minggu sebelum terjadinya serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi dan pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi auoimun yang menyerang myelin saraf perifer.
Keadaan pencetus yang yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni, yang secara khas menyebabkan penyakit gastrointestinal yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam. Bagian proksimal saraf cenderung paling sering terserang, dan akar saraf dalam ruang subarakhoid biasanya terpengaruh oleh infeksi virus tersebut. Akibat tersering dari kejadian ini adalah virus atau inflamasi merubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut sebagai sel asing.


C.    KLASIFIKASI
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:
  1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
  2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
  3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Paling sering ditemukan pada AMAN.
  4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
  5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
  6.  Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
  1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
  2. Fase plateau.  Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
  3. Fase penyembuhan  Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.






D.    PATOFISIOLOGI
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.  Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.



E.     PATHWAY

Infeksi Pernafasan

Infeksi Gastrointestinal

Vaksinasi

Pembedahan

AUTOIMUN

Sistem imun menyerang saraf

Limfosit & Makrofag menyerang myelin
Limfosit T& Limfosit B memproduksi antibo
di
Melawan komponen selubung myelin

Destruksi dari myelin

Inflamasi pada syaraf

Sel inflamasi Mengeluarkan sekret kimiawi
Mempengaruhi sel Schwan

membentuk materi lemak penghasil myelin
Produksi Myelin

Hancurnya jaringan saraf perifer

Diserang saraf motorik, sensorik, dan otonom

Transmisi sinyal melambat, terblok

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial
Kelemahan

Demyelinasi primer

Apabila sist. Imun kembali normal
Serangan akan berhenti
Kembali pulih

Fase inflamasi berat

Merusak Akson

Sinyal saraf diblok
Transmisi sinyal
Kelumpuhan

Demyelinasi sekunder
 





GBS

Gangguan fungsi saraf kranial

Gangguan saraf  perifer dan neuromuskular

Parastesia (kesemutan), kelemahan otot

Kelemahan fisik umum, paralis otot wajah

Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah
Kelemahan Mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.

Disfungsi Otonom

Paralise lengkap, otot pernapasan terkena
Insufisiensi pernapasan

Penurunan kemampuan batuk
Sekresi mukus

Nervus III, IV, V
Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular.

Nervus V, IX dan X
Paralisis otot wajah dan otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan.
Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan

Risiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.

Pola napas tidak efektif b.d kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun

Kurang beraksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis
Perubahan Sensori

Gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan
Penurunan curah jantung

Kebawah jalan nafas

Resti infeksi saluran nafas bawah dan parenkim paru
Pneumoni a

Gagal fungsi pernapasan
COP

F.     MANIFESTASI KLISIS
GBS sering diawali dengan adanya infeksi pada saluran pencernaan dan pernafasan oleh virus ataupun bakteri. Beberapa gejala yang sering muncul pada penderita GBS adalah sebagai berikut :
1.      Kelemahan otot
2.      Rasa seperti ditusuk – tusuk jarum pada jari kaki atau tangan yang kemudian dikuti dengn mati rasa.
3.      Kesemutan pada kaki, paha, yang kemudian merambat ke badan dan tangan.
4.      Kehilangan refleks.
5.      Nyeri pinggang.
6.      Mengalami kegoyahan pada saat berjalan, bahkan terkadang tidak mampu berjalan sama sekali.
7.      Jika kasus GBS lebih parah, maka akan muncul – gejala – gejala berikut :
a.        Sulit berbicara.
b.        Gangguan pada saat mau menelan.
c.        Gangguan pada sistem pernafasan

G.    PROGNOSIS
GBS memiliki prognosa yang baik, dilaporkan 15%  dari kasus GBS pemulihannya baik tanpa ada kecacatan, 5 sampai 10% mengalami kecacatan signifikan, cacat minimal dilihat sampai dengan 65% dari kasus dan kematian hanya sekitar 5% karena akibat dysautonomia, serangan jantung, sepsis, emboli paru, atau sindrom gangguan pernapasan.  Indikator prognosis yang buruk dapat dilihat dari usia klien yang terus meningkat, onset kelemahan yang sangat cepat, kebutuhan ventilasi yang terus-menerus, parameter elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan.


H.    KOMPLIKASI
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat. Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut:
a.    Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
b.    Aspirasi
c.    Paralisis otot persisten
d.    Hipo ataupun hipertensi
e.    Tromboemboli, pneumonia, ulkus
f.     Aritmia jantung
h.    Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
i.      Nefropati, pada penderita anak
j.      Ileus

I.       TEST DIAGNOSTIK
a.        Serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm

b.         Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.


c.        Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.

d.       Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.

e.        Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).




J.      PENATALAKSANAN MEDIS
Guillain Barre Syndrome dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernapasan. Apa bila terjadi keadaan demikian, maka penderita segera di rawat di ruang intensif
a.        Pengobatan imunosupresan:
1.      Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

2.        Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a)      6 merkaptopurin (6-MP)
b)      Azathioprine
c)      cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,
mual dan sakit kepala.

b.        Plasmaferesis untuk  beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar,terutama untuk kasus yang akut. Di negara-negera barat, plasmaferesis mulai sering dilakukan namun demikian belum diperoleh kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini plasma sejumlah 200-250 ml/kgBB dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti dengan cairan yang berisi kombinasi garam dan 5% albumin. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar.

c.          Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan kekuatan otot.

d.             Roboransia saraf dapat diberikan terutama secara parenteral. apabila terjadi kesulitan menguyah atau menelan,sebagai akibat kelumpuhan otot-otot wajah dan menelanmaka perlu dipasang pipa hidung-lambung (nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.

e.              Manfaat kortikosteroid  untuk sindrom guillain-barre masih kontroversial.namun demikian,apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
SINDROM GUILLAIN-BARRE

Pengkajian keperawatan merupakan suatu tahap penting dari proses pemberian asuhan keperawatan yang sesusai bagi kebutuhan individu. Oleh karena itu, pengkajian yang lengkap dan sesuai kenyataan, dan kebenaran data sangat pentinguntuk langkah selanjutnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai respons individu.
Pengkajian keperawatan pada gangguan Neurologi adalah salah satu komponen proses keperawatan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan sistem Neurologi. Kegiatan tersebut meliputi usaha pengumpulan data tentang status kesehatan seorang klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan. Disini akan dijelaskan berbeda asuhan keperawatan pada penyakit Sindrom Guillain-Bare.
A.     Pengkajian
1.         Identitas Klien
Meliputi nama, usia, tempat tanggal lahir, status marital, suku, alamat, tanggal masuk RS,
2.         Keluhan utama
Keluhan utama akan menentukkan prioritas intervensi dan mengkaji pengetahuan klien tentang kondisinya saat ini. Keluhan utama yang biasa muncul pada klien dengan Sindrom Guillain-Bare seperti:
·         Kelemahan otot
·         Gangguan reflex menelan
·         Perubahan tekanan darah (Hipotensi- Hipertensi)
·         Sianosis
·         Kesemutan
·         Nyeri tekan pada otot

3.         Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal nafas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernafasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hamper sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler, yang mungkin menyebabkan gangguan system saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan distrimia jantung atau perubahan drastic yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.

4.         Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang riwayat penyakit dahulu klien. Secara umum perawat perlu menanyakan mengenai hal-hal berikut ini:
1.      Apakah klien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
2.      Pengobatan saat ini dan masa lalu.

5.      Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita , diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.

B.     Pemeriksaan Fisik
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi  berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada system pernapasan dan adanya akumulasi secret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
1.      Sistem Pernafasan
Inspeksi
Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, pengguanaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi ernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan.
Palpasi
Biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan dengan akumulasi secret.

2.      Sistem Kardiovaskuler
Pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (Hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

3.      Sistem Neurologi
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya kesadarannya Compos mentis (CM). Pemeriksaan Saraf Kranial
a.       Nervus I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciumatidakada kelainan.
b.      Saraf II.  Test ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c.       Nervus III, IV,dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular.
d.      Nervus V. Pada klien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
e.       Nervus VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisi unilateral.
f.       Nervus VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g.      Nervus IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
h.      Nervus XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
i.        Nervus  XII. Lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

4.      Sistem Perkemihan
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

5.      Sistem Pencernaan
Biasanya didapatkan Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.

6.      Sistem Muskuloskeletal
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum.


C.    Diagnosa Keperawatan
1.      Pola napas tidak efektif b.d kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan.
2.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun
3.      Risiko tinggi penurunan curah jantung yang b.d perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
4.      Risiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
5.      Gangguan mobilitas fisik yang b.d kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
6.      Cemas b.d kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

D.    Intervensi

Pola napas tidak efektif b.d kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : secara subjektif sesak napas (-), RR : 16-20 x/menit. Tidak menggunakan otot bantu napas, gerakan dada normal.
Intervensi
Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori
Menjadi bahan parameter monitori serangan gagal napas dan menjadi data intervensi selanjutnya
Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal dan non verbal
Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas saat berbicara, pernapasan dangkal dan ireguler, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardia, dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan kea rah kemunduran, yang mengindikasi kearah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan.
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interfal yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat di antisipasi. Penurunan kapasitas vital dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi : pemberian humidifikasi oksigen 3 L/menit
Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolisme sedang meningkat.


Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi secret, kemampuan batuk menurun.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil : secara subjektif sesak napas (-), RR 16-20 x/meit, tidak menggunakan otot bantu napas, retrasi ICS (-), ronkhi (-/-), mengi (-/-), dapat mendeemosnstrasikan cara batuk efektif
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, addanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna, dan kekentalan sputum
Memantau dan mengatasi komplikasi potensi. Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalan penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot intercostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan semilower
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan meningkatkan batuk lebih efektif
Ajarkan cara batuk efektif
Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal napas akut
Lakukan fisioterapi dada, vibrasi dada
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500 ml/hari
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh
Lakukan oengisapan lender dijalan napas
Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi bersih

Risiko tinggi penurunan curah jantung yang b.d perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curaah jantung tidak terjadi
Kriteria hasil : stabilitas hemodinamik baik, (tekanan darah dalam batas normal, curah jantung kembali meningkat, intake dan output sesuai, tidak menunjukkan tanda-tanda distrimia)
Intervensi
Rasionalisasi
Auskultasi TD. Bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas pengeluaran katekolamin
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi
Catat murmur
Memnunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung, (kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilar)
Pantau frekuensi jantung dan irama
Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi distrimia
Kolaborasi : berikan O2 tambahan sesuai indikasi
Oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah

Risiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil : setelah dirawat selama 3 hari klien terjadi komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
Perhatian yang dibeikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis
Illius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam keadaan ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan dibekrikan oleh dokter dan perawat memantau bising usus sampai terdengar
Berikan nutrisi via NGT
Klien juga tidak mampu menelan,makanan melalui selang lambung
Berikan nutrisi via oral bila paralisi menelan berkurang
Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-perlahan dan sangat hati-hati.

Gangguan mobilitas fisik yang b.d kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien menigkat atau teradaptasi.
Kriteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadithrombosis vena profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan mobilisasi fisik
Merupakan data dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya
Dekatkan sarana dan alat yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivias sehari-hari
Bila pemulihan mulai dilakukan, klien dapat mengalami hipotensi ortostatik (dari disfungsi otonom) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong mereka mengambil posisi duduk tegak
Hindari factor yang memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien melakukan mobilisasi
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar dan peritoneal. Bantalan dapat ditempatkan disiku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini
Sokong ektremitas yang mengalami paralisis
Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang gerak secara pasif paing sedikit dua kali sehari
Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
Deteksi awal thrombosis vena profunda dan decubitus sehingga dengan penemuan yang cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan
Kolaborasi dengan tim fisioterapi
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontruktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak
           

Cemas b.d kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi kecemasan hilang atau berkurang
Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya, dan mengatakan cemas berkurang
Intervensi
Rasionalisasi
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan tajut.
Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perikalku merusak.
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkkan rasa agitasi, marah, dan gelisah
Hindari konfrantasi
konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkina memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
Tingkatkan control sensasi klien
Control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekannkan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi, dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respon baik yang positif
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dengan aktivitas yang diharapkan
Orientasi dapat menurunan kecemasan
Beriakan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.
Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspesikan
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat
Memberikan waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan membentuk perilaku adaptasi
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca ) akan menurunkan perasaan terisolasi.

E.     Evaluasi
1.      Klien tidak menggunakan otot bantu napas, gerakan dada normal.
2.      Klien dapat batuk secara efektif
3.      Tekanan darah klien dalam batas normal
4.      Asupan nutrisi terpenuhi
5.      Kekuatan otot klien kembali maksimal


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahanmotorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercayabertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal,dan umur pasien.GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yangcukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulatorspesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12% tidak dapatberjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasienakan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan palingefektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehinggadapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akanmemberikan prognosis yang lebih baik.

B.     Saran

     Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga kebersihan kesehatan , sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain Barre (SGB)  harus diobati secara tuntas agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang dapat komplikasi yang lebih parah.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Hartwig MS, Wilson LM. Anatomi dan fisiologi sistem saraf. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor bahasa Indonesia. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.. Volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC, 2002.

Doenges Marilyn E. Doenges.2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC

Smeltzer SC, Bare BG, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,Volume 3,jakarta: EGC, 2001

http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »